18| Sama atau berbeda

20 4 3
                                    

Sagalanya masih sama
Kamu dengan senyummu
Dan saya dengan sendu
Tapi ada kalanya tak serupa
Beberapa hal di ambang batas
Yang dibungkam paling manis
Bukan berarti baunya tak terendus

🌻🌻🌻

Tak ada yang berubah. Masih sama. Ya, kecuali perasaan yang kian tak tentu. Hubungan saya dengan Minggu pula tak ada masalah, memutuskan sebagai teman-mungkin-pilihan yang tepat supaya tak canggung, supaya tak ada yang merasa bersalah tanpa perlu menumpang tindihkan perasaan yang sudah tahu arahnya.

Kami berdua masih sering mengobrol, tak jarang juga ia mengirimkan kalimat-kalimat random yang membuat saya mengerutkan dahi keheranan, tapi malah terkekeh geli setelah itu. Walau nyatanya pula, saya harus sadar diri.

Bunga matahari dari Minggu tertata rapi di vas kaca yang saya letakkan di atas meja kecil-di kamar saya. Ah, benar, saya memutuskan untuk pindah kamar, setidaknya membiarkan Ibuk leluasa bercakap dengan seseorang di seberang sana. Belakangan seringkali saya melihat Ibuk terkekeh atau tersenyum sendiri dengan ponselnya. Praduga saya mungkin tepat, kekasihnya, meskipun Ibuk belum pernah berbicara dengan saya. Entahlah.

Acara menghidupkan taman belakang belum selesai. Masih butuh beberapa bibit lagi, toh bukankah menghidupkan lahan yang mati butuh kesabaran dalam menyemai. Supaya subur, bukan hancur.

Pandangan saya menjurus ke arah lapangan yang berhadapan langsung dengan masjid yang sedang saya singgahi. Tangan saya menalikan tali sepatu, masih mengedar pandang mencari seseorang. Hari-hari seperti ini-Senin-adalah jadwal olahraga di kelas Minggu. Lapangan sudah penuh dengan teman-teman Minggu, tapi tidak dengan lelaki itu. Batang hidungnya saja tak terlihat di mana pun. Aneh. Apa dia bolos?

Samar-samar pembicaraan dua gadis di sebelah saya-yang tidak dapat disebut berbisik itu-menyerbu ke gendang telinga. Diam-diam saya menguping, ada suatu hal yang menarik untuk didengar.

"Lu lihat nggak yang tadi?"

"Yang anak OR pingsan itu?"

"Iya, anjir, tapi kenapa, ya? Tiba-tiba langsung dibopong temannya."

"Yee, mana gua tahu! Dah, ah, shalat kuy."

Obrolan mereka selesai begitu saja. Tak ada petunjuk siapa gerangan yang sedang diperbincangkan barusan.

Tunggu, jangan-jangan, Minggu?

Sontak saya bergegas bangkit. Mempercepat langkah saya menuju UKS yang cukup jauh dari masjid. Ya, Tuhan, semoga Minggu baik-baik saja. Kali ini tolong kabulkan doa saya tanpa terkecuali.

Deru napas saya sudah tak karuan bahkan seragam putih saya sudah dibanjiri keringat. Mulut saya tak henti-hentinya merapal mantra, berharap Minggu baik-baik saja. Hingga akhirnya saya tiba di ambang pintu UKS dengan napas tersenggal-senggal.

"Kamu teman Minggu?" Penjaga UKS dengan seragam putihnya menanyai saya.

Saya mengangguk. "Iya."

"Tapi, kamu sepertinya bukan teman sekelasnya. Kelas mana kamu? Bukankah ini jam pelajaran."

"Benar, Bu. Saya Senin, kelas MIPA 2, tadi ada ulangan Matematika jadi jamnya ditukar dengan istirahat supaya tidak terpotong."

Beliau mengangguk. Mempersilahkan saya menemui Minggu, sebelum beliau berpamitan untuk keluar sebentar.

Di pinggir ranjangnya, saya dapat dengan leluasa menatap wajah Minggu yang terlelap. Ada sedikit kelegaan menyadari tak ada sedikit pun luka yang bisa saja membuatnya jadi seperti ini.

Senin (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang