Banyak umpatan 🚫
____________________________________________________Jangan diam
Jangan membisu
Kamu manusia
Bukan santapan empuk
Untuk dianiyaya
Untuk dibunuh
Mentalnya🌻🌻🌻
Meningitis
Nama penyakit asing itu terus terngiang di kepala saya. Tubuh saya tak henti-hentinya mondar-mandir sampai Angkasa mungkin jenuh menatapnya. Minggu bodoh! Kenapa ia tak bilang bahwa ia mengidap penyakit itu? Menapa pula saya harus tahu melalui Angkasa? Kenapa tidak dari kamu saja?
Menyebalkan. Saya benci kamu Minggu! Kalau kamu bangun akan saya jejal rumus fisika kesukaanmu itu. Biar kamu tidak bodoh, biar kamu sadar kalau saya itu ada! Bukan malah diam membisu seperti patung!
"Lu bisa berhenti nggak sih, muter-muter aja!"
Saya menatapnya sekilas, tak berniat menurutinya. Saya khawatir, saya takut, di pikiran saya sekarang hanya ada, Minggu. Lelaki itu. Apa di dalam sana ia diobati baik-baik saja? Atau malah dokter di dalam sedang bereksperimen keji?
Minggu cepatlah bangun.
"Gua bilang berhenti, ya berhenti!"
Kedua tangannya memegang pundak saya. Saya diam, menangis lagi. Punggung saya naik turun di hadapan Angkasa. Tumpah ruah tangis saya.
Minggu sakit
Minggu tidak sadar diri
Senyumnya hilang
"Minggu, Kak, Minggu! Dia ... bagaimana? Saya ingin masuk Kak, saya ingin melihat Minggu! Sejak kapan, sejak kapan ia menderitanya?"
Angkasa mengehela napas. Ia menarik tubuh saya untuk duduk di bangku rumah sakit. "Sekitar tiga tahun."
Tiga tahun?
Itu bukan waktu yang sedikit Minggu. Bukan hitungan satu hingga sepuluh atau hingga seribu. Sakit. Kamu bungkam sendiri. Jangan sok tegar, kamu bukan karang yang tak terkikis. Kamu bukan tiang yang bisa berdiri kokoh. Kamu termakan, terkikis hujan. Jadi berhentilah untuk berkata tidak apa!
"Kenapa ia hanya diam? Kenapa ... kenapa ia tidak bercerita dengan saya? Saya dianggap apa, Kak?"
"Dia enggak ingin lu tahu sisi lemahnya. Ia ingin selalu tersenyum di hadapan lu, di hadapan semua orang. Minggu, si syamsu, bukan si kelabu."
Isakan saya semakin deras. Minggu, jadi ini yang disembunyikan syamsu di balik punggungnya? Jadi ini yang kau sembunyikan di balik senyummu? Pertanyaan yang dulu saya pertanyakan akhirnya terbongkar juga, tapi bilamana rasa sakitnya seperti ini lebih baik tak perlu dipertanyakan. Seharusnya saya bungkam, tak menuntut semesta menjawab.
Minggu. Sial, sialan!
Saya benci!
"Saya takut Kak, Minggu baik-baik saja kan? Dia selalu baik-baik saja kan?"
Angkasa tak menjawab dan itu membuat saya kian menangis. Hingga tak lama suara bariton lelaki mengintropeksi kami.
"Angkasa!"
Di hadapan kami berdiri lelaki yang umurnya kurang dari setengah abad. Napasnya terengah-engah, dahinya dicucuri keringat. Wajahnya serupa dengan Minggu? Ayahnya, kah? Sejujurnya saya belum pernah bertemu dengannya sekali pun, tapi mengapa ia menyebut nama saya setelah itu?
"Kamu Senin?"
Belum sempat dijawab. Seorang dokter ke luar dari ruangan. Rautnya tenang, tapi penuh makna. "Ada yang harus saya bicarakan dengan kamu, Ri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senin (selesai)
Short StoryUntuk kamu, bagi saya Perihal mawar merah merekah Berdasi abu-abu yang kian tertata Yang sunyi dalam ramai dunia Kamsia, _______ Saya itu pecundang, pengecut, paling hina. Manusia buruk sepanjang sejarah. Hingga satu persatu semuanya terlucuti. Tela...