9| Circle Baru

44 6 16
                                    

Tiba-tiba kamu datang

Berseru dengan riang
Mengisi bagian rumpang
Tempat sajak-sajak menghilang

Rasanya seperti dijejal euforia
Sebuah rasa yang sejak dulu tiada
Tapi dibawa olehmu saat telah tiba
Dan diterima tanpa tahu akan seperti apa

🌻🌻🌻

Jumat kemarin, selepas Minggu menghantarkan saya sampai ke rumah, seperti biasa ia tersenyum dengan mulutnya bersua, semangat, ya! Apa lagi ketika saya tawarkan singgah sebentar, ia hanya menggeleng. Berkata, tak usah suatu saat nanti saya juga kembali.

Ada-ada saja memang omongannya, seakan-akan dia yang punya rencana ketimbang Tuhan. Pipi saya pun memerah seperti mawar yang baru saja merekah mendengar omongannya itu. Mengingat-ingatnya saja saya malu, mana perasaan aneh muncul suah itu. Haha bukan, bukan jatuh cinta. Sebuah kehangatan dari sang syamsu, perasaan lega setelah sadar atau tidak sadar berhasil menceritakan segalanya kepada Minggu.

Hah ....

Sepertinya Minggu benar-benar syamsu. Si hangat bagi bumi dan seisinya serta bintang penerang si bulan, yang gelap, sepi, dingin, tanpa teman.

Ah, ya tentang teman saya yang sewaktu itu, saya masih berkawan dengan mereka, topeng masih saya pakai menutupi jati diri. Sejujurnya, di otak saya terlalu terngiang omongan Pak Faiz, tapi tetap saja saya tak bisa keluar dari circle tersebut dengan mudahnya. Apa siap nanti saya mendapat hujatan? Bagaimana bila saya terpojokkan lagi? Apa sanggup?

Ah, kenapa kelihatan pecundang sekali diri saya ini.

Enyah kan dulu hal itu. Saya sedang perlu bergegas menuju ruang musik tempat ekstra diadakan. Bukan, bukan padus melainkan ekstra band yang formulirnya baru saya kasih kemarin Senin pada wali kelas saya. Bingung kenapa saya tak memilih jurnal? Itu karena jadwal jurnal bertabrakan dengan kerja part time saya, hari Kamis. Kalau saya memilihnya, waktu saya untuk istirahat sangat tipis. Sedangkan ekstra lainnya yang dicap culun, seperti toga, atau klub bahasa, entah mengapa malah keduanya banyak diikuti oleh siswa. Bayangkan saja saya se-insecure apa dalam eksrra tersebut-lebih-lebih lagi saya juga telat mendaftarnya.

Maka dari itu saya memilik ikut band. Sebuah eksra yang belakangan meredup namanya bahkan seakan sudah hilang di telan bumi tanpa permisi. Padahal setahun yang lalu ekstra itu sungguh ramai, banyak diomongkan sana sini karena vokalisnya yang keren-sekarang sudah lulus. Namun, kini hanya tersisa enam orang dari dua puluh-yang entah siapa saja mereka.

Dengan mulut meringis, saya mengetok kecil pada pintu berwarna cokelat di depan saya. Hingga tak lama seorang perempuan-sebaya dengan saya-membukakan pintu dengan alisnya mengkerut, lalu sedetiknya malah tersenyum penuh sumringah.

"Hai, saya Senin," kata saya tersenyum kikuk.

"Hai, aku Ayu. Masuk dulu, yuk, kenalannya di dalam. Tenang saja, okey, Pak Faiz sudah memberitahu kami akan kehadiranmu."

Ia menggandeng tangan saya dengan lembut memasuki ruangan itu, di mana empat orang sudah berdiri di sana dengan tatapan mengintimidasi. Saya meremas rok saya bersamaan sebulir keringat lolos dari dahi, padahal ruangan ini ber-AC.

Perempuan bernama Ayu tadi mempersilahkan saya berdiri di depan mereka untuk memperkenalkan diri. Sekali lagi saya tersenyum kikuk dengan jantung yang degubnya mengalahkan suara bedug di bulan ramadhan.

"Ha ... i, saya Senin Ambara. Ka ... lian bisa memanggil saya Senin," kata saya dalam satu tarikan napas.

Semua orang terdiam, membuat saya melirik dengan gelisah ke arah mereka. Ayu menepuk pundak saya.

Senin (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang