Ia Minggu
Manusia kaku
Dipaksa menjadi syamsu
Untuk semesta yang penuh kelabuSosoknya tak tertandingi
Disanjung sana sini
Tanpa tahu batas diri
Hingga terhenti tanda titik🌻🌻🌻
"Nama gua Minggu, Minggu Alangga."
Alis saya berkerut, sedikit merasa ganjil dengan namanya, apa lagi uluran tangannya itu. Mau apa dia? Mengajak berkenalan setelah secara tiba-tiba-dengan suara sedikit naik satu oktaf-menanyai saya siapa?
"Untuk apa?"
Saya menatap wajahnya itu, untuk pertama kali entah mengapa terasa familer, tapi setelah dipandang-pandang sepertinya saya tidak pernah bertemu apalagi mengenalnya. Dua semester-lebih-bersekolah di sini, saya tak pernah sekali pun melihat sosok lelaki itu. Sungguh saya yakin, kalau tak yakin tak mungkin saya bisa melupakan wajahnya itu.
Ya, wajahnya yang dipahat lumayan sempurna oleh Tuhan, rupawan dengan hidungnya yang mancung serta setiap sudut mukanya dipoles sempurna. Namun, rambutnya itu, sama persis dengan pakaiannya. Berantakan! Berandalan, agaknya.
Dia terkekeh menyadiri sikap saya sembari menarik uluran tangannya yang tak terbalaskan. Dengan pelan, pantatnya di daratkan tepat di samping saya. Dengan bibir tersungging kecil, tangannya mulai mengambil kucing dalam pangkuan saya, dan menggendongnya dengan mata berbinar.
"Lo suka mereka? Lucu kan, gemesh gemesh gituh, ih."
Hah?
"Lo kenapa ke sini?" Dia bertanya, tapi matanya itu masih menatap dalam pada kucing, "Eh, eh, tahu enggak, yang ini namanya Moli. Yang hitam namanya Ruri, terus yang cokelat Koko."
"Eh, enggak bisa gitu dong." Saya sontak berbicara, tak terima nama-nama yang ia berikan. Pasalnya si hitam itu cowok, bisa-bisanya diberi nama Ruri. Lalu si cokelat itu cewek, kenapa dinamain Koko.
"Kok suara lo alus bet."
Saya memelototinya tajam. Modus. Lelaki buaya sialan. Lalu ia hanya terkekeh kecil.
"Haha, bercanda. Garang banget. Terus kalau enggak Moli, Riri, Koko, lo maunya apa? Nama-nama anak kita?"
Sumpah. Kesabaran saya sudah habis. Manusia aneh, absurd, berandalan, modus! Sialan! Saya dengan kesal beranjak dari duduk, berniat meninggalkan lelaki itu. Tetapi tangan saya mendadak dicengkram, ia cengengesan tanpa tampang berdosa.
"Lepas!"
"Eh, iya. Maaf." Dia menarik tangannya, saya mau tak mau kembali duduk. Mengamati kucing-kucing itu, hening, tak ada pembicaraan.
Sayup-sayup, lagu dari salah satu band indie-yang sering saya dengar-serentak masuk ke telinga saya. Saya menoleh, lelaki itu-dengan mata terpejam-sedang menyanyikan lagu, terlihat jelas dari mulutnya yang tengah komat-kamit seperti mbah dukun.
Saya terlarut dalam nyanyiannya. Merdu, benar-benar merdu. Hingga tanpa sadar saya mengikuti alurnya.
"Ku di liang yang satu, ku di sebelahmu ...."
"Eh."
Ia menoleh, mulutnya tersungging miring, memergoki diri saya yang terlampau malu dengan pipi merah bersemu.
"Lo tahu lagu itu?" Ia bertanya.
Saya mengangguk kecil. "Tahu."
"Sering dengerin?"
"Iya, tapi sayang, sudah bubar. Sejak 2016, 'kan."
"Benar. Haha, jarang lho, di sini gua temuin yang suka lagu itu. Bahkan nih ya, teman-teman gua sering ngremehin, dikatain 'apasih, lagu kok melow-melow gitu'," Minggu mencerocos sambil mengikuti gaya bicara temannya, lalu kembali menatap saya dengan tersenyum.
Kalau kamu mau tahu bagaimana senyum Minggu, itu laksamana bulan sabit. Ada lesung pipi, manis. Ah bukan bukan, ia tak manis, hanya kardus!
"Walau udah bubar, walau teman gua enggak ada yang suka, yang penting karya-karya mereka masih bisa gua nikmatin. It's simple."
Saya mendadak dibuat terdiam olehnya. Pikiran saya mendadak berkecamuk jadi satu. Teman? Lagu kesukaan saya? Haha, mustahil. Lagi pula bagaimana bisa ia tak mimikri, itu kan mustahil. Saya saja harus melupakan diri saya, supaya bisa diterima dalam keadaan sama.
Matanya melirik sekilas pada arloji hitam di tangannya. Dengan sekilas ia bangkit dari duduknya. Menepuk-nepuk bagian belakangnya yang agaknya penuh debu.
"Gua mau ke Pak Surip dulu. Btw, gua enggak bakal tanya alasan lo ke sini kenapa dan gua enggak bakal bilang siapa-siapa. Toh, ini kan privasi lo."
Ia melenggang pergi setelah melepas sebuah senyum, tubuhnya kian mengecil beriringan jaraknya yang semakin menjauh. Lalu hilang, bayangannya pun ikut serta akan kepergiannya. Hai, Minggu, saya tak tahu kenapa kamu tiba-tiba datang dan menegur saya. Saya tak menahu semesta sedang menjalankan takdir saya seperti apa. Semoga segalanya baik-baik saja, semestinya.
🌻🌻🌻
Kaki saya melangkah memasuki kelas, dua menit setelah bel pergantian pelajaran berbunyi. Mata saya menangkap teman-teman saya yang sudah duduk di bangku dengan tertawa cengingisan. Sisanya lagi-siswa lainnya-tampak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tak ada yang menyadari eksitensi saya, hingga pantat saya duduk di kursi, mereka baru menoleh. Menyapa hangat saya, dengan tampang sedikit kebingungan.
"Lama bet dah pup lo, haha," sambar teman saya.
"Eh, tapi tadi gua ke toilet enggak lihat lo. Biliknya pada kosong."
Deg.
"Ah, gua di toilet dua belas, dekat kantin. Kalau toilet dekat kelas kan kejauhan," balas saya dengan tenang.
Teman saya ber'oh' ria. Entah sadar atau tak, agaknya cukup baik untuk kali ini. Saya disibukkan lagi dengan omongan mereka yang mencerocos memasuki gendang telinga. Tanpa mengerti, tanpa tahu. Hingga beberapa kata dari omongan mereka, membuat saya tersentak sejenak.
"Anjir, gua hampir lupa. Tadi waktu balik ke kelas gua ketemu Minggu."
"Minggu?" Saya kembali mengulang kata terakhir itu, teman saya menatap saya dengan dahi berkerut.
"Iya. Minggu Alangga, angkatan kita yang terkenal pintar itu. Bahkan nih ya dia kemarin habis juara 1 olim Fisika, keren banget enggak sih."
Tunggu, Minggu Alangga? Jadi Minggu Alangga itu ternyata memang dia? Maaf, maaf, saya memang tak pernah melihat pemilik nama itu secara langsung. Namun, lelaki kardus penuh modus tampang penyamun seperti itu, beneran dia? Saya semakin tak habis pikir dengan semua ini.
"Enggak terlalu heran kalau elu enggak tahu. Emang orangnya rada nolep, belum lagi kelasnya di lantai dua, jadinya jarang pernah lihat."
"Bahkan nih, selama sekolah di sini baru tiga kali gua lihat dia. Pertama waktu mos, kedua acara study budaya, ketiga waktu bukber."
"Kayak hantu njir, tapi bayangin deh, kalau dia kagak nolep, terus ikut klub futsal atau basket. Dijamin auto famous, ngalahin kak Erick!"
"Haha, bener."
Nah, sekarang, Minggu. Saya semakin pusing akan dirimu. Mengherankan. Sampai-sampai dahi saya sedari tadi berkerut-kerut tak berkesudahan. Bahkan otak saya penuh kamu yang jalan-jalan tanpa lelah. Jadi, Minggu, kamu itu seperti apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Senin (selesai)
NouvellesUntuk kamu, bagi saya Perihal mawar merah merekah Berdasi abu-abu yang kian tertata Yang sunyi dalam ramai dunia Kamsia, _______ Saya itu pecundang, pengecut, paling hina. Manusia buruk sepanjang sejarah. Hingga satu persatu semuanya terlucuti. Tela...