Tuhan pandai bermain
Teka-teki untuk diduga
Perihal takdir yang dibungkam
Di balik punggung manusia🌻🌻🌻
Saya kembali disibukkan oleh kerja part time saya selepas berpenat-penatan di sekolah. Beberapa piring serta gelas kristal beserta bekas kopi di pinggirnya menemani saya kali ini, tapi bukan sekadar itu saja, seseorang yang baru bekerja hari ini pun ikut serta membantu saya. Seorang gadis dua tahun lebih tua dari saya, agaknya ia baru menjadi mahasiswa beberapa bulan lalu. Info ini saya dapatkan dari Mbak Mayang, senior di sini, yang tiba-tiba pula memanggil saya.
"Senin, lu sibuk?" Mbak Mayang memunculkan kepalanya.
"Hmm, seperti yang Mbak lihat, penuh tumpukkan," jawab saya sambil menunjukkan tumpukan yang menggunung.
Mbak Mayang menghela napas. "Umm, lu bisa enggak jaga kasir untuk kali ini? Fian cuti, sibuk skripsi, Cecar mendadak sakit perut. Sedangkan gua harus gantiin Fian jadi barista."
Wajah Mbak Mayang memelas setelah itu. Saya menimangnya sejenak, bila saya menjaga kasir bagaimana dengan Mbak Sasa, senior baru yang membantu saya? Apa tak apa bila saya tinggal mengurusi kasir sedangkan ia harus mencuci semua ini.
"Senin, lu jaga kasir aja, gak papa kok. Biar ini gua yang bersihin semua." Ucapan Mbak Sasa membuyarkan lamunan saya.
Dengan berat hari saya meninggalkannya, menyetujui ajakan Mbak Mayang. Di sini lah saya berada selepas itu, tempat di mana saya bisa berhadapan langsung dengan pembeli yang riwa-riwi, saling ke luar masuk, atau bercakap panjang lebar dengan kawan atau pasangan. Ya, rasanya cukup aneh saja, saya yang biasanya menopang di belakang, sekarang langsung di depan melayani pembeli.
Saat tengah asyik melayani pembayaran pelanggan semenit yang lalu, mata saya tanpa sengaja menatap sosok familiar yang sedari tadi mungkin luput dari pandangan saya. Di sudut sana, dekat dengan jendela, di atas sofa berwarna moca, ada Angkasa dengan sosok pria belasan tahun lebih tua darinya yang ketika saya memincingkan mata lebih dalam ternyata Pak Faiz.
Ya, pikiran saya mendadak penuh pertanyaan. Ada apa gerangan mereka di sini? Apa melakukan konsultasi antara murid dan guru, ah tapi tak mungkin, Pak Faiz bukan guru BK. Lalu mengapa pula wajah Angkasa penuh murka, dengan wajahnya merah padam seakan amarahnya memuncak. Beberapa kali pula saya curi-curi pandang, Pak Faiz yang tampak menenangkan dirinya yang semakin memuncak, walau akhirnya Angkasa dengan kasar bangkit dari duduknya, berjalan ke luar dengan amarah, yang untungnya lelaki itu tak menyadari eksitensi saya.
Sesungguhnya, ada hal apa di antara mereka? Kenapa murka sekali sampai-sampai perlu pergi tanpa penjelasan-sepertinya? Kenapa Pak Faiz hanya memijat pelipis tanpa mengejar Angkasa? Bukan hal sepele dan sepatutnya saya tak perlu ikut campur. Ya, harusnya, seperti itu.
🌻🌻🌻
Ya, saya salah. Pikiran untuk tidak ikut campur tidak bisa saya tepati, yang harusnya seperti itu malah saya ingkari. Sebab, selepas cafe tutup dan acara penyambutan Mbak Sasa selesai, mendadak saya dikejutkan dengan sosok Angkasa di bawah pohon rindang dengan rokok diampit dijari.
Ia menatap saya, tak terkejut tapi tak pula biasa saja. Rautnya yang memang dingin itu seakan bertanya-tanya selepas saya ke luar dari pintu belakang cafe, dengan tas slempang berwarna hitam di lengan kanan saya.
"Ha-i!"
Saya sebisa mungkin menyapa dengan normal saat tubuh saya hendak melewatinya. Berusaha menghilangkan memori yang kembali muncul di permukaan otak saya, walau rasanya sulit sekali seakan memang sudah tertanam tanpa di minta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senin (selesai)
Storie breviUntuk kamu, bagi saya Perihal mawar merah merekah Berdasi abu-abu yang kian tertata Yang sunyi dalam ramai dunia Kamsia, _______ Saya itu pecundang, pengecut, paling hina. Manusia buruk sepanjang sejarah. Hingga satu persatu semuanya terlucuti. Tela...