Hal-hal kerap kali baru
Entah sifat atau rupa berubah
Entah pemikiran atau perilaku
Atau tentang rasa yang kian nano-nanoDiintili dengan penyebab tak terduga
Entah pemikiran yang memberontak
Ke luar dari zona nyaman menyesatkan
Atau orang lain ikut turun tangan🌻🌻🌻
Pagi ini berbeda dengan biasanya, tak seperti kuburan apalagi gorong-gorong yang gelap. Hari ini sinar matahari ya menerobos melalui celah-celah kecil menambah kehangatan kami. Ibuk dengan senyumannya yang hangat menyiapkan makanan di meja makan, memang hal biasa, tapi rasanya berbeda sebab pengakuan kami semalam.
"Nah, ini Senin dimakan." Ibuk menyerahkan nasi goreng yang uapnya masih mengepul di udara, menandakan baru selesai dimasak.
Saya tersenyum, menerimanya dengan senang. "Terima kasih Ibuk, hehe. Ah, Ibuk tidak makan?" tanya saya menyadari Ibuk hanya diam mengamati.
Beliau mengggeleng. "Tidak, Senin makan dulu."
Saya mengerucutkan bibir, "Ibuk, makan saja, nasi gorengnya kan masih ada. Senin tak sangu bekal juga tak apa kok hari ini, yang penting Ibuk kenyang. Selama ini Ibuk selalu saja membiarkan Senin makan, padahal Ibuk kelaparan."
Ibuk terkekeh, "Kau itu Senin, ya sudah kalau itu maumu. Tunggu sebentar, kita makan bersama, ya. Tenang saja, bekalmu tetap ada kok."
Ibuk bangkit, mengambil piring. Saya tersenyum di balik punggungnya yang ringkih. Ia kembali, membawa piring yang tak kosong lagi, dengan satu tangannya membawa wadah bekal berwarna orange.
"Nah, ini, dibawa. Jangan lupa! Kalau uang sakunya kurang, bilang saja Ibuk." Ibuk mendaratkan pantatnya di kursi.
Saya mengangguk, seraya memasukkan sesendok makanan ke mulut saya. Rasanya hari ini saya tak mau pergi sekolah, ingin di rumah saja menikmati waktu berdua dengan Ibuk, sebab kami tak lagi kesusu dikejar waktu.
"Oh ya Senin, sekolahmu bagaimana? Apa teman-temanmu baik? Atau kamu sudah punya pacar?-"
"Uhuk."
Nasi goreng langsung tersedak di tenggorokkan saya, buru-buru Ibuk menuangkan air putih dalam gelas dan menyerahkannya. Saya segera meneguknya hingga tandas. Ah, kenapa pelu tersedak, kenapa pula sewaktu Ibuk bilang pacar malah wajah Minggu dengan senyum hangat yang terbayang.
Saya mengusap sudut bibir saya yang basah, tersenyum kikuk pada Ibuk. "Ah, haha, enggak Buk, Senin enggak punya pacar kok. Memang Senin punya teman cowok, Ia baik, tapi bukan pacar kok! Sungguh, Ibuk tak peelu khawatir," kata saya meyakinkan Ibuk.
Ibuk malah terkekeh, mengusap kepala saya. "Haha, kamu ini Senin. Tak perlu begitu, Ibuk percaya kok. Ya sudah, cepat habiskan makananmu, nanti keburu telat."
Saya mengangguk, menandaskan nasi goreng saya yang tersisa sesuap. Tangan saya terulur mengambil ransel berwarna moca, mencantolkannya pada pundak saya. Bergegas saya menggunakan sepatu di ruang tamu, berpamitan pada Ibuk meminta doa restu.
Kaki saya hari ini terasa ringan melaju, menyapu jalanan dengan hilir mudik yang tampak suam di mata saya. Semoga, ya, hari ini kebaikan-kebaikan akan terus ambil adil dalam benang-benang merah kusut milik saya. Semoga kebahagiaan ikut serta tanpa meminta imbalan. Walau saya sejujurnya sangat paham, tak ada bahagia tanpa disusul sengsara.
🌻🌻🌻
Jarum jam dalam bingkai berwarna hijau tersebut tampaknya tengah tak yakin dengan langkahnya, buktinya saja gerakannya terasa lama, teramat menjenuhkan. Ditambah pula dengan suara kecil bagai penghantar dongeng milik Pak Basuki guru Sejindo yang tengah mengajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senin (selesai)
Short StoryUntuk kamu, bagi saya Perihal mawar merah merekah Berdasi abu-abu yang kian tertata Yang sunyi dalam ramai dunia Kamsia, _______ Saya itu pecundang, pengecut, paling hina. Manusia buruk sepanjang sejarah. Hingga satu persatu semuanya terlucuti. Tela...