8| Tujuan dari pertemuan

39 6 9
                                    

Hari esok akan baik
Sebaik-baiknya mimpi
Tiap malam hari
Dengan bulan, dengan bintang

Jika tidak, juga tak apa
Tak masalah juga
Anggap saja sebuah proses
Munuju kebahagiaan

🌻🌻🌻

"Panti Asuhan?"

Saya membaca tulisan yang tertera pada papan putih tersebut. Motor Minggu berhenti tepat di bangunan ini. Ia mempersilahkan saya turun dengan seribu tanda tanya tak berkesudahan. Apa maksudnya? Maunya apa? Untuk apa? Bagaimana?

"Benar, ayuk masuk," ajaknya, tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan di otak saya.

Kaki saya mengikuti, disambut hangat di depan pintu. Seorang wanita berumur paruh bayah, dengan senyuman hangat yang merekah. Pemilik panti, kah?

"Ibu," kata Minggu sambil menyalimi orang tersebut.

"Nak Minggu, tumben mendadak sekali. Untung Ibu belum pergi," katanya lalu beralih melihat ke arah saya.

Saya tersenyum, lalu ikut melakukan hal sama pada Minggu. "Saya Senin, Bu. Teman Minggu."

Entah kebetulan atau tidak, mata Ibu itu sedu tapi rautnya mengukir kebahagiaan. "Senin, cantik sekali. Ayuk, masuk dulu, Ibu panggilin anak-anak."

Saya tersenyum kikuk, Minggu melirik saya lalu mengajak ikut bersama. Kami tiba, di ruangan yang tidak terlalu besar, beralas tikar dengan sebuah bingkai foto bergambar anak-anak di sana. Saya terdiam mengamatinya, beberapa dari mereka-unik.

"Senin."

"Ya?"

Saya menoleh. Ia tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya seakan-akan tidak jadi meneruskan kalimat yang mungkin sudah menggantung di ujung lidahnya.

Tak lama, segerombolan anak kecil berdatangan ke arah kami. Saya cukup kaget, pasalnya ini pertama kali saya berinteraksi dengan mereka. Saya kikuk, takut-takut bila omongan saya ada yang salah ke depannya. Minggu sepertinya sadar akan kekalutan saya.

"Mereka sama Senin, saya, kamu dan semuanya."

"Kak Minggu!" Salah satu dari mereka menyeru dan melempar pelukan ke tubuh Minggu. Rambutnya ikal, dengan kulit sawo matang-eksotis.

Hangat.

"Eh, Kak Minggu tidak sendiri. Dia siapa, Kak?" Sebuah bocah dengan-maaf-tubuhnya terduduk di kursi roda, menatap saya dengan bingung.

Saya tersenyum berusaha menetralisirkan kegugupan saya. "Hai, saya Senin. Teman Kak Minggu, nama kamu siapa?"

Bocah itu tersenyum hangat. "Saya Rian, Kak Senin namanya lucu sekali seperti nama Kak Minggu. Nama-nama hari, hihi."

Saya terkekeh. "Rian juga lucu."

Rian tersenyum, tak lama temannya datang menyahut. "Hei, aku juga mau berkenalan dengan Kak Senin, namaku Opang, Kak."

"Saya Senin, Opang tampan sekali," tutur saya kepada bocah yang memeluk Minggu tadi.

"Kyyaa, Opang malu, nih, hihi." Seorang bocah perempuan dengan sebelah tangannya menuntun bocah seusianya tiba-tiba menimbrung.

Ia lalu duduk di sebelah saya bersama temannya itu. Ia tersenyum manis, giginya yang ompong di depan tampak lucu.

"Kakak, jangan keseringan muji Opang, nanti dia besar kepala, hihi," guraunya, saya ikut terkekeh, tapi pandangan saya masih tertuju pada bocah di sebelah gadis itu. Cantik sekali, tapi kenapa sedari tadi tak berbicara.

Senin (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang