Hallo semua, maaf sempat hiatus dua minggu karna badan kurang fit. Kasih tau jika ada typo ya!😉
.
.
.Diam, layaknya ruangan kosong. Merasa penasaran layaknya detektif. Itulah yang di rasakan Atha. Sejak dokter mengatakan hasil operasinya akan di ketahui hari ini. Atha tak ingin berada di samping Anthea.
"Tha, kamu gak mau pulang? Atau bersihin badan kamu gitu? " tanya Arvin menghampiri Atha yang duduk di kursi tunggu. Atha melihat sekilas ke arah Arvin kemudian menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Arvin menghela napas kasar kemudian duduk di sampingnya. Menarik bahunya kedalam pelukkannya.
"Menangislah jika kamu ingin menangis tha, ini papa, orang tua kamu bukan orang asing" mendengar ucapan Arvin. Atha menangis sejadi-jadinya. Perasaan bersalah yang amat mendalam tertanam di hatinya. Andaikan waktu dapat di putar dalam semestinya. Ia akan dapat mencegah hal ini.
Melihat putranya menangis, membuat Arvin juga merasa bersalah. Jika dirinya mampu meyakinkan Rara, kedua anaknya tidak akan mengalami kejadian buruk sekalipun.
Arvin membiarkan Atha yang menangis di dalam pelukannya. Menumpahkan semua kesedihan yang ada pada dirinya. "Mungkin pemulihannya masih proses tha, mungkin saraf dari matanya sedang beradaptasi dengan saraf Anthea. Dokter tidak bilang sepenuhnya gagal bukan? " ucap Arvin menenangkan kesedihan Atha.
Atha melepaskan pelukkannya dan berhenti menangis walaupun masih terisak. "Saran papa, sekarang kamu pulang, bersihin diri kamu, istirahat sejenak, baru kamu kesini lagi. Pikirin kesehatan kamu. Lagi pula, besok kamu sekolah bukan? "
"Gak ah, Atha mau bolos beberapa hari " jawab Atha merasa enggan pergi ke sekolah.
"Apa? Kamu yakin kamu dapet izin selama beberapa hari? Nilai kamu nanti turun kamu gak takut? " ucap Arvin bertanya balik.
Atha mengangguk, "Bolos gak perlu izin tau pa, lagi pula gak mungkin Atha gak dapet izin orang ada papa kok. Papa ke sekolah mereka langsung luluh pa. Soal nilai papa gak perlu khawatir papa punya anak yang jenius. Mahir sama semua hal" ujar Atha menyombongkan dirinya.
Arvin terkekeh. "Mahir dalam semua hal, kecuali mahir dalam mencari pacar bukan? " ejek Arvin. Ia ingat perkataan temannya Yang pernah berkata Atha sulit mendapatkan pacar di sekolahnya.
"Bukan gak mahir, atha juga milih-milih kali pa. Semua cewe tuh liat cuma dari ganteng sama kaya doang. Papa mau jatuh miskin gara-gara menantu belum pasti? " setelah selesai berdebat dengan papanya, Atha berbalik untuk segera pergi pulang ke rumah mengikuti perintah papanya.
Arvin menatap punggung Atha yang kian menjauh. Melihat caranya berbicara ia seperti ibunya yang rewel. Arvin percaya siapapun yang berdebat dengannya akan kalah, seperti dirinya. "Mungkin cita-citanya jadi seorang pengacara" guman Arvin bermonolog.
*****
Arvin kembali masuk ke dalam ruangan Anthea. Ia tersenyum melihat putrinya duduk bersandar, sambil melamun. Artha menutup kembali pintu dan berjalan menghampiri Anthea. Arvin mengusap lembut kepalanya.
Anthea melihat ke arah gerakan tangan. "Kakak? " lirih Anthea sambil menikmati usapan di kepalanya.
Lagi-lagi Arvin terkekeh. Begitu dekatkah mereka berdua?. "Sepertinya di otakmu hanya ada Atha"
Anthea menyengir lebar. "Bukan gitu pa, kakak gak nyamperin thea dari dokter bilang hasilnya gagal. Thea gak masalah kalau gak bisa lihat, yang penting kakak sayang sama thea. Tapi.. " Anthea menundukkan kepalanya. Arvin yang paham akan gerakan putrinya, mencium puncak kepalanya dengan gemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARZU ✔ [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[Completed] Tidak di terima dan hanya di anggap angin bagi keluarganya. Di singkirkan layaknya sampah yang tidak berguna. Tidak merasa kasihan ataupun peduli sedikitpun. Bersikap layaknya tidak ada kehadirannya. Di ambil, dan di rawat oleh kakakny...