Tears

39 2 0
                                    

Gumpalan awan gelap yang menjelma menjadi hujan adalah wajar


*****


Seminggu berlalu, sejak Rehan kembali membuka matanya. Ia juga sudah menjalani terapi rutin untuk mengembalikan fungsi kakinya sejak tiga hari yang lalu. Luka ditubuhnya juga sudah mulai membaik, karena itulah ia merengek untuk pulang. Namun Farhan dengan tegas menolak permintaan adiknya itu. Ia hanya ingin Rehan sembuh total.

Lagipula ia juga harus melakukan beberapa tes untuk memastikan kalau Rehan benar-benar sudah pulih. Terutama benturan di otak yang sudah membuatnya koma selama hampir dua bulan. Tentu bukan pilihan baik untuk menuruti permintaan adiknya. Alhasil Rehan kembali menolak bicara padanya. Ia menjadi tak bisa konsentrasi dengan tugas lainnya.

“Ayolah Rey…kau masih belum pulih benar. Setidaknya tunggu sampai seminggu lagi setelah tes terakhir dilakukan.”

Rehan tetap tak menyahut, membuat Farhan semakin frustasi dengan sikap keras kepala adiknya ini. Apalagi yang harus ia lakukan untuk membujuk Rehan.

Rehan sekilas melirik Farhan, ia sebenarnya menahan tawa mati-matian. Awalnya ia memang kesal dengan sikap kakaknya yang terlalu over, tapi setelah teringat sesuatu ia mendapat ide untuk melanjutkan perannya.

Terlihat Farhan mengusak wajahnya lesu, ia juga nampak lelah. Mungkin akibat kurang istirahat karena harus membagi waktu untuknya dan untuk pasien yang lain. Rehan jadi tak tega melihatnya, tapi ini juga berawal dari kakaknya yang menyebalkan. Biarkan saja piker Rehan.

Rehan memilih mengambil buku di atas nakas samping ranjangnya. Ia amat serius dengan bacaan di tangannya. Mencoba mengalihkan fokusnya dari Farhan yang hanya memperhatikannya dalam diam.

Tak lama pintu terbuka, menampilkan Faisal dan Devano dengan bingkisan di tangan Faisal.

“Pagi!” Devano mendekat ke tempat Rehan berada. “Bagaimana kabar kakak?” Rehan sedikit menjauhkan buku itu dari hadapannya demi membalas sapaan Devano. Ia tersenyum, lalu mengusak lembut surai hitam Devano.

“Baik. Bagaimana denganmu? Kau nampak sibuk sekali akhir-akhir ini.”

“Maaf ya kak, karena ada pertandingan ini aku jadi tidak bisa menemani kakak.” Devano lantas naik ke atas brangkar lalu memeluk Rehan rindu.

“Tidak masalah. Lagipula si bantet itu yang selalu bercerita tentang pertandinganmu. Bagaimana hasilnya? Bukankah kemarin timmu masuk final?” Devano melepas pelukannya lalu menatap Rehan penuh semangat.

“Tentu saja kami menang. Selagi ada Devano Bramantyo maka tak ada musuh yang bisa membobol gawang kami.” Ia tersenyum lebar karena sekali lagi mendapat usapan lembut di kepalanya dari Rehan.

“Berhentilah melebih-lebihkan dirimu sendiri, kau bahkan sudah cidera tiga kali.”

“Katakan saja kalau kakak sebenarnya khawatir,” balas Devano sambil menjulurkan lidahnya.

Faisal memilih mengabaikannya, lalu mengikuti langkah Farhan untuk duduk di sofa. Ia meletakkan bingkisan yang dibawanya di atas meja. “Apa kakak sudah makan? Ibu membawakan kalian makanan,” ucapannya pada Farhan. Namun yang ditanya nampak tak ingin menjawab. “Ada apa?”

“Tanyakan saja padanya.” Farhan menujuk Rehan menggunakan dagunya. Rehan mendelik tajam pada kakaknya itu, lalu segera mungkin memalingkan wajahnya kearah lain.

Kedua orang yang baru saja hadir itu terlihat bingung. Mereka saling menatap, namun kemudian menggeleng bersamaan.

“Kalian bertengkar lagi?”

[END] Butterfly : Hope For HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang