Ignored

185 9 0
                                    

Bunga seindah mawar pun akan layu ketika tak kau sirami

Juli 2019

Hahh...

Hembusan napas selalu mengawali harinya tiap kali mengingat masa lalu. Seolah adalah kebiasaan barunya saat mengingat masa dimana hidupnya masih berwarna.

Saat dimana kakaknya masuk kekamarnya tanpa permisi, membangunkannya untuk segera bersiap ke sekolah. Lalu dibalas dengan gerutuannya dan kekehan sang kakak yang selalu meledeknya. Dilanjut dengan kehangatan keluarga yang memang selalu diimpikannya.

Jika boleh jujur ia sangat merindukannya. Keluarga utuh yang dipenuhi dengan kebahagiaan. Tak ada bentakan atau gertakan yang membuat semuanya goyah.

Keluarganya yang perlahan hancur sejak mataharinya menghilang untuk selamanya. Penopang dan alasan kedamaiannya sudah tidak ada lagi.

Namun menyesal sebanyak apapun tak akan mengubah yang lalu. Ia hanya bisa menjalaninya entah mau sampai kapan. Intinya, ia akan mencoba untuk berusaha bertahan. Setidaknya itulah janji yang ia katakan pada ibunya sebelum memilih untuk menutup mata.

Mencoba melupakan masalahnya sejenak, pemuda itu lantas beranjak keluar dari kamar yang sudah hampir 18 tahun menemaninya itu. Saksi bisu dari keluh dan kesah dari seorang Rehan Adijaya.

Pemeran utama dalam takdir Tuhan kali ini.

Melangkah menuruni satu demi satu anak tangga dengan sedikit tergesa. Melihat tuan mudanya yang terburu-buru, Bi Imah pun langsung menghampirinya.

"Pagi Den Rehan," sapa Bi Imah. "Aden tidak sarapan dulu?"

Mendengar suara wanita yang sudah 10 tahun merawatnya itu memanggil, ia lantas berbalik. "Tidak Bi, Rehan harus segera berangkat. Masih banyak tugas yang harus diselesaikan."

"Setidaknya Aden harus mengisi perut Aden dulu. Terakhir kali Aden telat makan, bukankah asam lambung Aden naik lagi?" ujar Bi Imah yang dia anggap seperti ibu keduanya.

Rehan membalasnya dengan senyuman tipis sebelum akhirnya melenggang menuju meja makan. Ia mengambil dua potong roti dan mengoleskan selai stroberi favoritnya. Setelah selesai dengan kegiatannya, kembali ke tempat Bi Imah yang memandangnya sedari tadi, tanpa melunturkan senyumannya.

"Ini sudah cukup, jadi Bibi tak perlu khawatir lagi. Dan ya...jika tidak ada Ayah panggil saja Rehan, itu lebih nyaman didengar," ucapnya sambil memakan rotinya yang membuat senyum Bi Imah sedikit melebar.

"Baiklah Rehan berangkat dulu, sampai jumpa Bibi cantik..." tambahnya dengan nada menggoda yang membuat Bi Imah mendelik. Sudah biasa ia digoda begitu oleh anak bungsu majikannya ini. Ia hanya geleng-geleng kepala melihat tuannya yang sudah masuk ke dalam mobil.

"Hati-hati Rey!" teriak Bi Imah yang dibalas lambaian singkat dari tuan mudanya.

*****

Hanya butuh 20 menit mobil itu sudah memasuki area parkir di sekolah Rehan. Ia lantas meraih tas yang ada di bangku penumpang lalu keluar dari mobil. Melihat penampilannya sejenak sebelum beranjak.

Ditengah padatnya koridor sekolah, tiba-tiba ada yang merangkul pundaknya dari belakang. Hampir saja ia terjungkal, karena dalam keadaan belum siap. Dan jika itu sampai terjadi, mau ditaruh dimana muka tampan bak pangeran pelesir itu.

Euhhh...tak perlu membayangkan hal yang tidak mungkin Rey...

Memberengut kesal sebelum menengok sekilas ke wajah sang pelaku yang dengan beraninya hampir saja membuatnya menjadi tontonan gratis di pagi hari.

[END] Butterfly : Hope For HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang