Commencer Et Fin

33 1 0
                                    

Semua bermula ketika kita berusaha untuk mengakhirinya




Semilir angin Oktober kembali menerpa setiap inci wajah terpahat yang sudah tak dirasanya sejak setahun yang lalu. Menerbangkan asal helaian rambut legam yang menari-nari. Mengikuti langkahnya diantara ilalang yang tumbuh liar. Membawa jejaknya menuju gundukan yang tertutupi rumput liar.

Dijatuhkan sebelah lututnya di samping gundukan tersebut. Mencabuti tiap rumput yang tersebar tanpa tersisa. Lalu menaburkan rata bunga tujuh rupa yang tadi dibawa. Mengguyurnya memanjang dengan sedikit mineral.

Disingkirkan barang-barang yang telah kosong isinya. Matanya kembali menatap lamat deretan huruf yang terukir di atas gundukan. Sebelah tangannya terangkat membelai pelan batu nisan yang terasa dingin di kulit.

Pelupuknya terisi penuh genangan liquid yang siap lolos. Namun tertahan ketika kepalanya didongakkan ke atas. Terlihat gumpalan awan putih diantara langit biru. Ia masih bertahan diposisinya, hingga panggilan tenang menyapa pendengarannya.

"Rey..." Farhan menepuk pundak Rehan pelan. Rehan yang masih terdongak mengarahkan pandangan pada sang kakak yang berada disampingnya entah sejak kapan. Bibirnya melengkung menciptakan senyuman tersirat kabar baik.

"Sudah selesai?"

"Sebentar lagi." Rehan kembali menatap gundukan yang terpampang nama ibunya di nisan.

Farhan memperhatikan kegiatan Rehan yang kali ini sedikit meremas tanah kuburan mendiang ibunya. Hingga ia memilih menyamakan posisinya dengan Rehan. Memegang lembut tangan Rehan yang menegang.

"Ibu pasti sudah tenang sekarang."

"Tentu. Bukankah itu yang kita harapkan?" Rehan berkata sembari menoleh pada Farhan. Matanya syarat akan ketulusan, hingga setetes air asin itu jatuh membasahi pipi kirinya.

Farhan mengusap sisa air yang tersisa, lalu menarik pelan kepala Rehan untuk bersandar di bahu lebarnya. Justru tindakannya menambah deras air mata Rehan yang meluap.

"Maaf..." lirih Rehan. "Seharusnya aku tidak menangis di depan ibu."

"Tidak ada yang melarangmu untuk menangis."

Pantulan jernih kini terpampang di netra Rehan, mendengarkan tiap bait kalimat Farhan nikmat. Selama ini tak ada kata penenang yang lebih baik dari ibunya dan kakaknya ini. Dan ia bersyukur setidaknya masih ada satu obat yang menutupi lukanya.

"Sekarang kita kembali." Rehan mengangguk lemah. Bersandar pada kakaknya yang membantunya untuk berdiri. Mereka menatap gundukan itu sebelum melangkah menjauh.

"Kami berjanji akan hidup bahagia setelah ini, Ibu." Perkataan akhir Rehan sebelum kembali melanjutkan langkahnya menjauh.

Tak jauh dari mereka, bayangan putih berdiri. Menatap kedua putranya dengan senyum yang tak pernah luntur sejak kedatangan keduanya. Keberadaannya menarik perhatian pria separuh abad yang berdiri di samping mobil.

Pandangan mata mereka bertemu dengan senyuman kian melebar. Gumaman terlontar pelan di belah bibir wanita yang berstatus sebagai istrinya itu, sebelum perlahan menghilang terbawa hembusan angin.

Terima kasih

Tuan Adijaya yang memperhatikannya menunjukan senyum tulus, kemudian menutup matanya. Mencoba merasakan kembali keberadaan wanita yang mendampinginya sebelumnya.

"Aku berjanji akan menjadi ayah yang lebih baik untuk mereka, kau dengar Hana?" ucapnya lirih sembari membuka kelopaknya kembali setelah kedatangan kedua putranya yang berjalan beriringan kearahnya.

[END] Butterfly : Hope For HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang