Doubt

33 2 0
                                    

Keraguan akan hal baru menuntutmu untuk segera mencoba


*****

Ruangan itu berubah sunyi, hanya terdengar deru nafas yang saling bersahutan. Suara detak jantung mengalahi mesin elektrokardiograf disana. Mata mereka nampak fokus dalam satu titik, seolah jika kau berpaling barang sedikit maka ia akan menghilang untuk selamanya. Mereka larut dalam keterdiaman, membuat perasaan baru membuncah. Hampir saja kehilangan sadar karena terlalu larut. Hingga…






“Bunda!”






Pekikan Raya membuat Rehan dan Anna tersadar. Rehan segera melepaskan genggaman pada tangan Anna. Begitu juga Anna yang langsung memalingkan wajahnya. Lalu bertingkah seolah tak terjadi apapun. Meski tak bisa dipungkiri kalau detak jantung mereka saat ini dipacu dua kali lipat.

Raya dan Darell masuk begitu saja, tak ingin tau apa yang baru saja dilakukan oleh kedua orang itu. Raya melangkah ringan mendekat kearah Rehan dan Anna. Sedangkan dibelakangnya ada Darell dengan wajah masam, ia merasa baru saja dirampok secara tidak langsung.

“Bunda! Paman Darell tadi membelikan Raya banyak sekali es krim,” celotehnya dengan riang.

“Benarkah?” antusias Anna. Ia sudah kembali menguasai dirinya kembali. Raya mengangguk, masih dengan senyuman khas anak kecil.

“Kami juga mencicipi banyak rasa.”

“Kenapa tidak sekalian meminta Paman Darell untuk membeli semuanya, Paman Darell itu punya banyak uang kau tau.” Rehan melirik Darell setelah mengatakannya sambil tersenyum miring. Sedangkan yang dilirik menatapnya tajam. Awas saja kau, batin Darell.

“Raya, seharusnya jangan begitu. Nanti kalau Paman Darell tidak mau membelikan es krim lagi bagaimana?” tutur Anna. Raya mendongakkan kepalanya, menatap Darell dengan mata berlinang. Darell yang ditatap begitu jadi tergagap, ia menyamakan posisinya dengan Raya.

“Hey…kenapa menangis paman kan yang mengajak Raya makan es krim.”
“Paman tidak marah.”

“Kenapa marah? Lain kali kita akan membeli es krim lagi.”

“Benarkah?” Darell mengangguk, seketika Raya langsung memeluk leher Darell kuat. Membuat Darell, terkejut namun tetap membalas pelukannya.
“Sekalian minta belikan truknya,” sahut Rehan. Ia merasa sedikit dongkol melihat kedekatan Darell dengan Raya.

“Diam kau! Mengganggu saja,” hardik Darell. Rehan mencebik tak terima, ia memalingkan wajahnya kearah lain.
Anna menggelengkan kepalanya melihat interaksi kedua laki-laki itu yang mirip seperti anak kecil. Ia beranjak mendekat kearah putrinya. Mengambil alih Raya dari dekapan Darell.

“Kami pamit dulu, sepertinya hari sudah mulai petang.” Rehan segera mengarahkan pandangannya pada Anna. Sedikit tak terima, tapi mau bagaimana lagi. Dilarang pun siapa dia.
“Kenapa buru-buru, kakak tidak lihat muka sahabatku itu cemberut. Sepertinya dia tidak rela kakak pergi.” Darell balik menggoda Rehan dan berhasil, Rehan menatapnya tajam.

Sedangkan Anna, ia bersemu malu. Tapi ia mencoba untuk tidak memperlihatkannya. Ia harus segera pergi sekarang.

“Jangan di dengarkan Anna, mulutnya memang lebar.”

“Oh wow…! Kau bahkan sudah memanggilnya dengan nama. Apa kami pergi terlalu lama?”

“Kubilang diamlah!” Rehan hampir saja melempar bantal pada Darell, jika saja Darell tidak langsung menahannya.

“Hey santai sedikit, aku kan hanya bercanda.”

“Bunda kenapa paman bertengkar?” Pertanyaan polos Raya seketika membuat suasana hening, tidak ada yang bisa menjawab. Lebih tepatnya bingung memberikan jawaban yang tepat.

[END] Butterfly : Hope For HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang