Decision

38 2 0
                                    

Aku ingin kembali untuk melihat kalian tertawa bersama


*****


Pagi itu ruangan Rehan nampak lebih ramai. Suara gaduh bercampur rengekan tertangkap oleh pendengaran Rehan. Ia hanya pengamat, melihat kegaduhan yang disebabkan oleh kakak dan sahabatnya itu. Ia berusaha menulikan telinganya, namun percuma saat keduanya tak henti-hentinya berdebat. Merasa jengah ia membaringkan badannya membelakangi kedua manusia itu.

“Jika aku bilang tidak ya tidak. Kenapa kau keras kepala sekali?”

“Aku kan cuman mau membawa Rehan keluar ruangan, bukannya rumah sakit.”

“Tetap saja, kau tidak boleh seenaknya ingin membawanya keluar.”

“Oh hei…Biar kuberi tau, Rehan itu butuh udara segar. Dia sendiri yang menginginkannya. Dan aku sebagai sahabat yang baik harus membantunya.” Sungut Darell dengan tampang menyebalkan tak kalah dengan Farhan.

Mereka bahkan tak sadar, ketika Felicia masuk ke ruangan itu. Dengan wajah bingung Felicia terus memperhatikan kedua orang yang tengah berdebat. Lalu beralih pada satu orang lagi yang nampak kurang nyaman. Namun kembali beralih pada dua orang lainnya ketika mendengar suara Farhan meninggi.

“Apa kau berusaha mengguruiku saat ini?”

“Aku hanya bicara fakta.”

“Fakta apa yang kau ketahui itu belum bisa dipastikan saat ini.”

“Kubilang aku hanya ingin membantu Rehan.”

“Tetap saja…”

“Sampai kapan kalian mau berdebat.” Felicia menyela perdebatan keduannya. “Lihatlah, Rehan jadi tidak bisa istirahat.”
Mereka terkejut mendapati Felicia berdiri di depan pintu masuk. Lalu mengikuti langkah Felicia yang mengarah pada Rehan. Barulah keduanya sadari Rehan yang meringkuk membelakangi mereka.

“Kalian ini seperti anak kecil saja. Suara gaduh kalian itu sangat berisik, benarkan Rey?”

Rehan mengangkat kepalanya pada Felicia, lalu mengangguk setuju. Niat awalnya hanya ingin menghirup udara segar tadi. Dan karena disana hanya ada Darell, jadi ia meminta bantuan padanya. Namun saat akan duduk di kursi roda, Farhan datang. Ia mengomeli Darell yang berlanjut dengan adu mulut keduanya, membuat telinga Rehan rasanya berdengung.

“Dan kau Han! Kau itu seorang dokter, gunakan etika seorang dokter saat sedang bertugas. Bukannya malah mengusik ketenangan pasien.” Farhan terdiam, jika Felicia sudah bicara seperti itu ia tak bisa balik menyahut. Bisa-bisa digantung hidup-hidup nanti.

“Jadi apa masalahnya?” Tanya Felicia pada Rehan.

“Aku hanya minta Darell untuk menemaniku keluar sebentar, tapi kakak melarang.”

“Kakak melarang demi kebaikanmu,” sela Farhan.

“Tapi Rehan memintanya karena jenuh,” sahut Darell.

“Tapi tetap saja, ini masih belum waktunya.”

“Bukankah lebih cepat, lebih baik.”

“Itu adalah argumen terbodoh yang pernah kudengar.”

“Kakak saja yang terlalu tua.”

“Apa kau bil-”

“Hentikan…!!!” teriak Felicia memecah perdebatan yang segera dimulai kembali, setelah sebelumnya mereda. Mengetahui suasana sudah mulai tenang ia kembali berkata lembut kepada Rehan.

“Apa kau benar-benar merasa jenuh disini?” Rehan mengangguk mantap.

“Baiklah kita bisa ke taman rumah sakit sekarang.” Seketika senyuman Rehan merekah. Matanya berbinar tanda setuju dengan Felicia.

[END] Butterfly : Hope For HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang