Family

76 3 0
                                    

Kita pasti akan hidup bahagia, sebagai sebuah keluarga


Pukul 19.30

Rehan membuka pintu rumahnya dengan perlahan lalu menutupnya kembali. Ia segera melangkahkan kakinya menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Masih dengan perlahan takut kalau langkahnya mengganggu sang ayah yang sepertinya sudah pulang. Ia sempat melihat mobil ayahnya yang sudah terparkir rapih di garasi tadi. Namun langkahnya terhenti ketika sebuah teguran dari belakang menyapa indera pendengarannya.

"Kau darimana saja? Kenapa baru pulang?" Pertanyaan sarat akan intimidasi terdengar ditelinganya. Suara yang amat ia kenali, Tuan Adijaya.

Mencoba menormalkan detak jantungnya yang dipacu dua kali lipat, Rehan berdehem kecil sebelum menjawab pertanyaan ayahnya.

"Tadi ada pelajaran tambahan yang harus Rehan ikuti, maaf karena tidak sempat mengatakannya terlebih dahulu pada Ayah." Ia menundukkan kepalanya sesaat berucap.

Menangkap gelagat aneh putranya, Tuan Adijaya segera menimpali pertanyaan lain pada Rehan. "Sampai selarut ini?"

"Rehan tadi sempat mampir ke perpustakaan kota untuk meminjam beberapa buku." Rehan tau ia salah karena ia telah berbohong pada Tuan Adijaya.

Rehan meremas pelan ujung baju seragamnya yang belum terlepas sembari semakin menundukkan kepalanya. Hatinya merasa tak tenang saat ayahnya masih belum juga berucap.

"Masuklah ke kamarmu dan istirahatlah," ujar ayahnya, setelah itu berlalu menuju ruangan pribadinya.

Rehan menegakkan kembali kepalanya dan menghembuskan napas lega. Ini pertama kalinya ia berbohong pada ayahnya. Namun hanya inilah caranya agar ia tetap bisa bertemu kakaknya, Farhan.

"Maafkan Rehan, Ayah..." lirih Rehan lalu menaiki tangga menuju kamarnya.

Rehan melemparkan tasnya ke ranjang, lalu disusul dengan dirinya sendiri. Hari ini sungguh melelahkan, namun salah satu hari paling membahagiakan menurutnya.

Setelah bertemu Farhan tadi, senyuman selalu menghiasi wajahnya. Senyuman yang hanya ia tunjukan pada orang yang benar-benar berharga baginya.

Rehan menatap langit putih kamarnya, mencoba mengingat kembali pertemuannya bersama sang kakak. Ia mengulas senyum tipis sebelum memejamkan matanya sejenak.

Pukul 16.45

Mobil hitam yang melaju membelah jalanan membawa sepasang saudara yang telah lama tak berjumpa, dimana yang tertua bertugas membawa kemudi.

"Sebenarnya kita mau kemana kak?" Akhirnya ia berucap setelah sebelumnya hanya memperhatikan kakaknya yang sibuk menyetir.

"Suatu tempat. Kau tidak perlu khawatir, Ayah tak akan mengetahuinya," jawab Farhan seolah mengerti keraguan Rehan.

"Aku hanya khawatir. Bagaimana jika...?"

"Tidak akan ada yang terjadi, percayalah pada kakakmu ini." Potong Farhan menanggapi kekhawatiran adiknya. Ia sejenak menengok, memberikan usapan lembut pada surai legam adiknya yang masih sama dengan terakhir kali dia menyentuhnya.

Tidak ada yang berubah dari adiknya secara fisik, kecuali wajahnya yang semakin tampan. Namun siapa yang tahu jika hatinyajuga semakin terluka. Dan dialah salah satu penyebabnya.

Rehan tertegun mendapat perlakuan singkat yang terkesan manis dari kakaknya. Jika sudah begini tidak ada lagi yang perlu ia khawatirkan. Ia percaya penuh pada kakaknya.

Mobil itu akhirnya menepi setelah setengah jam perjalanan. Farhan melepas sealbelt lalu beralih pada Rehan yang juga melakukan hal yang sama. Ia keluar terlebih dahulu setelah mengisyaratkan adiknya untuk mengikutinya.

[END] Butterfly : Hope For HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang