7) Siapa Yang Tidak Shock (2)

18.1K 1.4K 51
                                    

Semua sibuk sore ini, bunda bersemangat memasak di dapur untuk acara nanti malam. Walaupun aku sudah jujur tentang ‘calon sendiri’,  katanya malam ini keluarga tante Fauza tetap ingin bersilaturrahmi. Bunda Sesekali bersenandung ria menyanyikan lagu yang sama sekali tidak familiar ditelingaku.

“Bundaaa...”

“Enggak boleh, Hawwa. Nana aja belum liat.”

Suara perdebatan mereka terdengar hingga ruang tamu, Hawwa sengaja datang tanpa diundang karena rasa penasaran. Sepertinya sedang merayu bunda agar diperlihatkan foto calon suamiku. Aku geli sendiri mengatakan calon suami.

“Woy, bengong aja lo. Sana bantuin gue sama bunda masak di dapur.” Hawwa datang dengan beberapa makanan untuk diletakkan diatas meja makan. Wangi rendang dan ikan bakar mulai menyeruak.

Aku tidak minat, dari awal memang tidak antusias dengan rencana bunda.  “Kan ada lo, Haw.”

“Inget Han, bentar lagi jadi istri orang, harus pinter masak biar suami lo kenyang.”

“Iya nanti gue belajar lewat youtube, ” ucapku enteng, Hawwa geleng-geleng kepala. Untuk urusan memasak sahabatku itu beberapa tingkat diatasku levelnya, mungkin karena efek jadi anak rantau.

Semakin banyak makanan yang tersaji diatas meja semakin membuatku berdebar, ada rasa deg-degan juga. Bayangkan sebentar lagi orang yang akan menjadi calon suamimu datang, orang yang sama sekali tidak kau kenal namun akan menjadi teman sebantal kelak. 

“Liat nih karya seni gue sama bunda,” pamer Hawwa bangga.

“Aduhh makasi ya Hawwa sayang udah bantuin bunda masak.”

“Jangan makasih aja bunda, nanti jangan lupa dibungkus sisanya buatku. Hehe.”

Bunda mengacungkan dua jempol tanda setuju.

“Ayo salat magrib jamaah dulu, Nana ayo, habis salat jangan lupa dandan yang cantik.” seru bunda, adzan memang sudah berkumandang dan saatnya menghadap Sang Pemilik Semesta. 

Bunda yang menjadi imam kami karena Bang Hadi salat magrib berjamaah di mesjid. Setelah menyelesaikan tiga rakaat, tanganku menengadah keatas. Andai saja berdoa buruk itu tidak dosa, berdoa agar ban mobil keluarga tante Fauza bocor ditengah jalan misalnya.

Stop, Hana. ikuti alur saja, bisa jadi ini yang terbaik.

Setelah selesai berdoa–tentunya hanya doa-doa baik  yang kupanjatkan, aku menyalami bunda dan diikuti Hawwa. Hawwa sudah seperti keluarga bagiku, dan bunda sudah menganggapnya anak ketiga. Lihatlah, orang akan berpikir kalau aku yang menumpang disini.

“Bunda, kalau ada stok cowok lebih simpan untukku dong. Aku juga pengen dijodohin.”

“Serius Hawwa mau?”

Tidak perlu waktu untuk berpikir ulang, Hawwa langsung mengangguk cepat seperti mesin otomatis.

“Tapi yang ganteng kayak dosen antropologi ku bunda.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala, dimana letak gantengnya Pak Singa itu coba? Hanya sedikit tinggi, dengan kulit putih pucat hingga bibir kecilnya terlihat seperti dioles liptint pink. Bukan tipeku sama sekali.

“Siapa dosen antropologi yang ganteng itu, Hana enggak pernah cerita kayaknya.”

“Hana buta bunda, dia enggak bisa bedain mana yang ganteng mana yang biasa aja.”

Aku mengerjapkan mataku, membuka mukena dan melipatnya rapi.

“Namanya Pak Sayed Ha–”

“Bunda, Nana izin ke kamar ya.” Aku sengaja memotong kalimat  antusias Hawwa, tidak ingin terjebak lebih lama disana. Lebih baik kugunakan sedikit waktu untuk rebahan, sebenarnya aku makin deg-degan.

Accidentally ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang