26) Foto Berdua

33.6K 2.2K 438
                                    

Eh, vote dulu. Udah?

Jangan lupa komen nya.

Selamat membaca

Aku menumpangkan tangan di pipi sambil merebahkan diri diatas kasur menghadap Pak Harris yang tengah duduk bersandar. Lelaki yang ku tatap itu menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Kenapa?"

Aku menggeleng, memilih menikmati pemandangan di depan dalam diam. Kuakui suamiku itu terlalu tampan. Dari dulu memang hanya saja tertutupi dengan sikapnya yang minus.

"Enggak papa, Pak Harris ganteng ya."

"Selama ini kamu kemana aja?"

Tuhkan, ujung-ujungnya pasti overdosis percaya diri. Untung faktanya mendukung.

"Enggak baik Pak muji diri sendiri, mending muji istri."

"Sekedar info, saya masih marah sama kamu," ujarnya sambil menyilangkan tangan. Ia memasang tampang datar namun malah terlihat menggemaskan dimataku.

"Tapi tadi di depan Mas Hanif..."

"Itu tadi, sekarang lanjut marah lagi."

Pak Harris memasukkan diri ke dalam selimut, hanya menyisakan kepala yang terlihat. Matanya dipejamkan rapat, baiklah, sepertinya memang harus mengeluarkan strategi jenius disaat genting seperti ini.

Cup

Aku mengecup sebelah pipinya sedetik dengan harapan segala kemarahannya meluap hilang.

Dasar Hana.

"Maafin Nana, Pak."

"Curang kamu, beraninya pas saya tidur."

"Saya yakin bapak belum tidur, buktinya bapak tau," ucapku membela diri.

"Sudah berani melawan sekarang ya. Masih ingat kan kalau dosen tidak pernah salah?" Pak Harris menghadap kearahku.

"Tapi sekarang bapak itu suami bukan dosen." Aku tersenyum menang.

"Itu tahu, jangan panggil bapak kalau dirumah."

"Enggak mau, udah biasa manggil Pak. Semacam panggilan kesayangan." Aku sudah terbiasa dengan panggilan itu.

"Kalau itu panggilan kesayangan,  artinya banyak sekali yang sayang sama saya. Mahasiswa saya ratusan yang panggil begitu."

"Beda ih, Nana bisa nambahin sayang kalau mereka cuma bisa manggil bapak doang," protesku tidak terima.

"Terserah kamu, saya mengantuk."

Aku tersenyum, "Jadi bapak enggak marah lagi kan?" tanyaku harap cemas.

Tidak ada jawaban, Pak Harris kompak menutup mata dan mulutnya bersamaan.

"Pak... Jawab dulu, Nana enggak bisa tidur kalau—"

Kalimatku terputus ketika Pak Harris menarikku ke dalam pelukannya, terlalu dekat hingga deru nafasnya menerpa di kulit wajah. Tentu tubuhku tidak bergerak kalau dijadikan guling begini, dan tidak perlu ditanyakan lagi apakah marahnya sudah lenyap atau tidak. Pelukan yang makin mengerat adalah jawaban dari segalanya.

Sepertinya malam ini aku akan bermimpi indah.

***

Sudah berkerudung rapi dengan make up seminimalis mungkin aku masih terpaku di depan cermin menatap diri. Pak Harris masih berada di kamar mandi, ia menyuruhku bersiap-siap terlebih dulu karena berasumsi akan menghabiskan banyak waktu.

Accidentally ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang