5) Bertemu

18.3K 1.6K 123
                                    

Untuk yang sempat baca bab "Insiden Waktu Tunangan" sama "Keisengan ibu-ibu" Sorry guys dua bab itu sudah kuhapus. Otomatis alurnya juga bakal berubah.
Sudah kubilang, aku mah enggak jelas. Semoga kalian nyambung ya bacanya.

#curhat

🌷

     

           Sayed Harris Ramadhan, nama lengkap dosen Antropologiku. Usianya baru kepala tiga kalau tidak salah, aku tidak men-stalking-nya sungguh, asal kalian tahu namanya dan nama dosen yang mengajar di prodiku tertempel besar di ruang prodi. Lulusan Leiden, dan diusia muda menjabat sebagai wakil dekan II. Manusia paling tegas yang pernah kutemui dan tidak segan-segan melayangkan hukuman jika kau bersalah. Ya, walaupun hukumannya tidak jauh-jauh dari menghapal surat yang ada di Juz 30.

     Penggila on time dan taat aturan. Sudahlah, jangan dibahas lagi.

       "Jadi pak ganteng enggak ngajar hari ini?" tanya Hawwa kecewa, aku sudah mengumumkan berita ketidakhadiran Pak Harris di grup whatsapp  mata kuliah Antropologi. Rata-rata, tidak, bisa dikatakan semua mahasiswa senang seolah-olah ingin membuat syukuran setelah ini.

     "Hm, yuk pulang!"

     Hawwa dan beberapa mahasiswi lain yang menaruh harapan tinggi terhadap Pak Singa terlihat kecewa. Terlihat dari ekspresi dan gerak-gerik mereka, seperti Hawwa yang baru saja menyerangku dengan pertanyaan tadi, dan si kembar Dina Dini yang upload snap di instagram tentang Pak Harris.

    Aku?  Entahlah, aku tidak paham. Sepertinya bukan itu yang harus ku urus, ada yang lebih penting. Kenapa Pak Harris menghubungiku bukan komnit? Terlebih penting lagi, dari mana ia mendapatkan nomorku.

     "Hana! Malah bengong, ayuk pulang." Ajak Hawwa. Gara-gara otakku penuh dengan pertanyaan yang harus segera kucari jawaban, aku melupakan rasa kesalku pada Hawwa. Itu... Perihal memberi nomorku pada Bang Rasya.

🌷

     Bukannya pulang, Hawwa memaksaku untuk menemaninya belanja. Perempuan berkulit putih pucat itu ingin membeli gamis, biar terlihat anggun katanya. Aku ikut saja, lagipula bosan juga dirumah.

     Menyusuri satu per satu toko yang menjual gamis, sejauh ini belum ada yang cocok dimata Hawwa. Aku rasa belum ada yang sesuai dengan isi dompetnya. Ini memang tanggal muda, tapi kan tidak mungkin Hawwa menghabiskan 'kiriman' ayahnya.

     Apalagi semua pakaian sudah diberi label harga, makin membuat Hawwa frustasi. Pasalnya ia tidak bisa menuangkan bakat jeniusnya, apalagi kalau bukan menawar harga dengan serendah-rendahnya.

     "Eh, Han, itu pak ganteng bukan?" tunjuk Hawwa heboh, pandanganku mengikuti arah tangan Hawwa dan benar saja ada Pak Harris diantara keramaian pengunjung Mall.

     "Samperin yuk!" ajak Hawwa antusias, ia menarik tanganku keras. Jangankan menolak berbicara saja tidak diberi kesempatan.

Accidentally ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang