15

5.2K 452 36
                                    


15 - Bicara Masa Lalu









Ada sekitar lima belas meja dengan jumlah bangku bervairiasi di dalam ruang kaca itu. Namun meja yang Mew pilih adalah meja yang berada di teras belakang, tanpa ac tapi cukup sejuk karena tanaman-tanaman hijau besar yang ada disana. Saat malam hari sisi outdoor dari cafe itu akan dipenuhi pasangan muda mudi karena menyuguhkan nuansa romantis. Tapi untuk siang hari seperti saat ini, memilih meja dengan dua bangku disana tidak terlalu buruk.

"Apakah kabar Papa dan Mama baik?" Mew bertanya dengan suara yang masih berat. Pernah terluka oleh orang-orang yang menjadi bagian dari hidupnya di waktu kemarin masih menyisakan lara untuk pemuda itu. Tapi dia berupaya melupakan kecewa dan pilih mengingat hal-hal yang baik saja. Dia tidak ingin hidup sebagai pembenci.

Gulf yang sedari tadi mencoba terlihat sibuk dengan ponsel ditangannya yang hanya menampilkan beranda instagram yang discroll nya naik turun lantas mengangkat kepala, mencoba berani membalas Mew yang menatapnya.

Seperti ada yang meremas hati Gulf saat kembali beradu pandangan dengan Mew. Sedikit sudut bibirnya bergerak naik, senyumnya terlihat payah. "Baik. Phi baik?"

"Baik," jawab Mew.

"Apa Phi masih minum susu di jam delapan malam? Apa Phi masih sering terbangun tengah malam? Apa Phi Tong atau Art..."

"Kenapa pulang?" Mew memotong. "Dimana Papa Mama?"

Gulf kembali nengatupkan bibirnya. "Gulf pulang sendiri."

Mew melihat ke atas, menatap tanpa arti lampu neon yang menggantung di langit-langit lalu menghela nafas panjang.

"Gulf, apakah Gulf pernah merasakan sangat ingin bertemu seseorang sampai dada kamu terasa sangat sakit?" Mew bertanya dengan hati-hati.

"Sangat sering merasakannya," Gulf hanya mampu menjawab di dalam hati.

"Apa kamu pernah merasakan seperti hidup kamu tidak berguna karena kehidupan yang kamu miliki hanya tentang dibuang dan ditinggalkan?"

Gulf tertegun. Gulf akhirnya meloloskan air mata. Apa yang Mew ungkap lebih terdengar seperti dia menghakimi atas dosa-dosa yang sudah Gulf lakukan.

"Kamu masih saja menangis dengan badan sebesar ini, Nong?!" Mew merubah suaranya dalam intonasi renyah.

"Asap dari dapur membuat mata Gulf perih," sanggah Gulf sambil mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangan.

Mew terkekeh lalu mengusak rambut hitam Gulf. "Phi, Gulf baru saja merapikannya!" Protes Gulf.

Mew semakin terkekeh.

"Siang ini Gulf harus bertemu seseorang. Nanti malam apa kita bisa bertemu lagi, Phi?"

Mew membuat gestur berfikir, Gulf cemas menunggu jawabannya. "Masih saja merepotkan. Uhm, boleh. Pizza rumahan di ujung jalan ini tidak terlalu buruk."

Gulf mengembangkan senyumannya. "Ah ya, Gulf harus pulang ke rumah kit- ... euh rumah Mama Papa."

Mew mengangguk mengerti.

"Rumah yang Phi katakan ada banyak cinta di dalamnya."

"Cinta milik kalian hehe..." Mew mencoba tertawa meskipun sejujurnya dia merasa ada yang hancur di dalam hatinya.

Gulf balas tertawa dengan kikuk. Bagaimana tidak? Mew sangat baik menunjukkan senyuman cerah miliknya, menyembunyikan sisi hancurnya yang akhirnya mencuat dari sepasang mata yang perlahan berair.

Sementara itu di dalam ruang kaca, di meja nomor empat seseorang dengan pakaian casual masih bertahan disana dengan pandangan yang berulang kali ditujukan pada dua orang yang berada di area outdoor.

"Satu Americano untuk kamu, Phi. Uhm, americano tanpa gula, Kaow sengaja memberi Phi menu yang pahit," ujar Kaow sambil menaruh secangkir kopi di depan Tong.

"Sejak dulu kamu memang paling mengerti cara membuag mood ku tambah buruk, tahu?" ujar Tong lalu tertawa hambar.

"Itu artinya aku sangat mengerti suasana hati Phi. Kalau aku memberi minuman manis juga percuma karena Phi juga tidak bisa menikmatinya saat suasana hati Phi sangat buruk."

"Oh aku fikir kamu menghemat gula," kekeh Tong.

"Haha. Untuk apa? Lagipula nanti kasir menagih minuman ini pada Phi?"

"Ckk. Sial, aku fikir ini gratis. Kemari, duduk denganku," Tong menarik satu kursi di dekatnya untuk Kaownah duduk.

"Phi tidak menjaga kedai? Atau tutup kedai karena sakit?"

"Iya sakit," jawab Tong yang tanpa sadar terus memusatkan perhatiannya ke arah luar.

"Iya iya, Phi sakit," sahut Kaownah mencibir. "Tidak perlu cemburu seperti anak kecil, Phi. Gulf hanya ingin bertemu Phi nya saja."

"Phi angkat," Tong koreksi.

"Angkat atau apapun itu cukup menjadi benteng buat mereka untuk bersama. Jangan berlebihan."

"Kira-kira apa yang mereka bicarakan?" Tong bergumam.

"Aku bukan cenayang! Kalau Phi penasaran coba saja bergabung dengan mereka!" Kesal Kaownah.

Tong mengernyitkan alis bingung karena pemuda dengan seragam karyawan warna crem dan apron coklat ini mendadak marah-marah padanya.

"Kaow kembali kerja. Segera diminum kopinya!"

Tong terkekeh karena Kaownah masih mengomel tidak jelas. Kaownah masih sama saja seperti saat pertama kali Mew mengajaknya ke kedai Tong. Saat itu Kaownah masih duduk di bangku SMA. Kaownah galak dan sering memarahi Tong tanpa sebab. Ah entahlah, Tong berfikir Kaownah memiliki masalah dengan emosinya.

Sosok Kaownah yang mulai hilang dari jangkauan pandangan Tong membuat pemuda itu kembali sadar pada apa yang menjadi alasan dia masih bertahan disana. Dia kembali melihat ke arah semula. Melihat pada seseorang yang disebutnya sebagai kekasih sedang mengusak surai pemuda lain yang pernah menjadi bagian dari ceritanya. Oh bukan sekedar pernah, bahkan hingga sekarang pun masih menjadi bagian dari ceritanya yang selalu diceritakan kepada orang-orang.

"Bicara tentang masa lalu ternyata bisa membuat kamu selepas ini? Apa aku juga harus bicara tentang masa lalu?" Tong bergumam sebelum meneguk Americano yang Kaownah siapkan.

"Ai KAOW!!! INI SANGAT PAHIT!" Tong berteriak setelah ia menyemburkan kopi yang baru saja mengisi mulutnya. Beberapa karyawan menahan tawa saat melihat pemuda tampan itu marah-marah sendiri.

"Bayar di kasir, Tuan tampan!" Seru Kaow sambil terkekeh.

"Ckk, sial," dengus Tong sambil beranjak dan berjalan ke arah kasir. "Nong, katakan pada Kaow. Dia harus makan malam denganku untuk membayar ini," ujar Tong.

Gadis yang berada di balik meja kasir tersenyum sambil mengangguk mengerti.

Setelahnya, pemuda itu berjalan ringan ke arah pintu, lalu sekali lagi melihat pada dua orang yang masih saling bercerita dan tidak lupa dia melihat ke arah ruang khusus pegawai di sisi terdalam ruangan itu. Sudut bibirnya bergerak mencetak lengkungan senyum yang khas.




























"Mari kita bicara tentang masa lalu, Kaow..."

●●

𝒮𝓉𝒶𝓃𝒹 ℬ𝓎 𝒴ℴ𝓊Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang