Reality - JeB

22 4 0
                                    

Untuk kalian semua. Happy reading~

~~~

"Kau mau kopi atau hot choco?" Jeo mendongak, mengarahkan matanya pada wanita di depannya. Lalu tersenyum, "Satu cangkir untuk seribu semangat," jawabnya sambil tersenyum.

"Dasar. Pagimu akan terlalu pahit dengan secangkir kopi," balas wanita di depannya, sedikit menggoda.

"Enak saja kau Athe!" Jeo menatap Athe tajam, yang hanya dibalas tawa kecil dari Athe.

Ia kembali melanjutkan aktivitas membaca novelnya yang tadi sempat terhenti. Matanya terus bergerak mengejar huruf-huruf yang tersusun rapi di dalam buku. Tangannya tak berhenti membolak-balik halaman kamus tebal di depannya. Ya, dia sedang membaca novel berbahasa Inggris, yang kini menjadi hobi barunya.

"Je!" seseorang menepuk pundaknya, membuatnya sedikit tersentak dan menoleh kebelakang.

"Zellina sialan," umpatnya lirih. Ia menghela napas pelan. Sedangkan Zellina? Ia hanya berlalu dan langsung menghampiri Athe seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kopi siap!" Teriakan Athe menggema ke seluruh ruangan. Tangan Jeo yang bagai terpanggil langsung mengambil cangkir kopi dan menyesapnya.

"Itu masih panas, bodoh!" ucap Athe kasar. Ia hanya mengernyitkan dahi, tak tahu lagi apa yang harus ia katakan.

"Kau memang titisan neraka," timpal Zellina sambil tertawa, diikuti dengan Athe.

Jeo hanya mendecih dan memilih melanjutkan bacaan novelnya. Dia memang merasa kesal, tapi di sisi lain dia merasa senang. Bukan senang diejek, tapi senang karena dengan mereka ia merasa hidup.

"Oh ya. Jeo, Kelulusanmu Jum'at ini kan?" Pertanyaan Athe membuat Jeo kembali tersenyum semangat.

~~~

"Terimakasih," Jeo membungkuk, mengakhiri pidatonya sebagai mahasiswa peraih IPK tertinggi. Suara tepukan tangan menggema ke seluruh ruangan aula. Jeo merapikan toga hitamnya dan berjalan menuruni panggung.

"Hebat sekali nak..."

"Wah, ini dia kebanggan kita..."

Berbagai pujian dan buket bunga ia terima saat berjalan menuju tempat duduknya. Ia hanya mengangguk tersenyum dan mengucapkan terimakasih sebagai balasan. Ia merasa sangat senang hari ini. Tapi di dalam hati kecilnya, ia kecewa karena orang-orang yang dia sayangi tidak dapat hadir melihatnya menyampaikan pidato.

Jarum jam menunjukkan pukul dua lewat empat puluh siang. Jeo mendaratkan kakinya di antas lantai marmer coklat rumahnya -Sebenarnya itu bukan hanya miliknya, tapi juga milik Athe, Zellina, dan Asena. Mereka membeli rumah itu bersama-sama sejak dua tahun yang lalu-. Ia membunyikan bel rumah, dan menunggu sejenak. Aneh, pikirnya, biasanya Athe akan pulang sekitar jam dua siang.

Jeo mengeluarkan kunci cadangan dari dalam tasnya, dan bergegas memasukkan kunci itu dalam lubangnya lalu memutarnya pelan. 'ceklek', suara pintu terbuka. Gelap adalah kesan Jeo saat memasuki rumahnya.

"Kemana Athe?" gumamnya pelan. Ia merebahkan dirinya di atas sofa, dan memejamkan matanya. Berusaha menikmati kelelahan yang dia alami seharian ini.

"Congratulations Jeovanni!" teriakan meriah terdengar dari arah belakang Jeo. Membuatnya tersentak dan dan membelalakkan mata. Tetapi ia tersenyum begitu melihat tiga orang wanita di depannya, sedang membawa sebuah cake besar bertuliskan nama  lengkapnya.

Ia menghampiri ketiga temannya, menggumam tak percaya. "Terimakasih!" ucapnya riang sambil memeluk ketiga temannya. Ketiga temannya membalas memeluk, meminta maaf karena tidak bisa menghadiri upacara kelulusannya dan juga, melihatnya berbicara di depan semua orang.

Jeo memang sudah kehilangan seluruh keluarganya. Baginya, ketiga teman itulah keluarganya. Itu sudah lebih cukup untuk membuatnya merasa hidup.

~~~

CIA POV

Jeo membuka matanya, mengakhiri cerita singkatnya tentang pengalaman terindah di hidupnya.

Wanita di depannya tersenyum, "Cerita yang sangat indah nona, anda beruntung memiliki keluarga seperti mereka," ucapnya yang hanya dibalas senyuman oleh Jeo. Wanita itu berdiri, merapikan seragam putihnya dengan name tag bertuliskan 'dr. Aileen'. Dan pergi meninggalkan Jeo yang masih terus tersenyum.

Aku berjalan menghampiri dr. Aileen, "Bagaimana dokter?"

"Tetap awasi dia ya Cia, emosinya mulai kembali stabil," balas dr. Aileen sambil berlalu meninggalkanku.

Aku menatap Jeo nanar, aku sudah menjadi perawat Jeo di rumah sakit jiwa ini sejak tiga tahun yang lalu. Dokter mengatakan bahwa dia mengidap skizofrenia, di mana ia merasa seolah telah mengalami/melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ya, dia mengalami hal itu sejak empat tahun yang lalu sebenarnya, saat  keluarganya tewas dalam sebuah kebakaran. Dari situ, dia mulai berteriak ke arah orang-orang yang melewati depan rumahnya.

Athe dan Zellina adalah kakak-beradik yang kebetulan tinggal di ujung komplek rumahnya. Mereka bahkan tidak pernah mengenali Jeo ataupun sekadar berbicara pada Jeo. Jeo sangat ingin berteman dengan mereka, tetapi Jeo menyerah karena kakak-adik itu jarang pulang ke rumahnya.

Sedangkan Asena, aku bahkan tidak tahu siapa dia. Dan bagaimana nama itu muncul dari mulutnya. Aku tak mendapatkan banyak informasi dari tetangga Jeo. Dan dia bahkan tak pernah melangkahkan kakinya di atas halaman universitas.

Sungguh, aku prihatin atas apa yang menimpa dirinya. Ia hanya ingin memiliki seorang teman setelah kehilangan seluruh keluarganya.

Aku mendekat dan duduk di sebelahnya. Membelai rambutnya yang kian mengering, "Hai Jeo," aku mengulas senyum.

"Asena? atau Athe? Ah aku sangat merindukanmu," ucapnya sambil memelukku.

Aku mengelus punggungnya pelan. "Athe, apakah kau mau mendengar cerita tentangmu, Zellina, dan Asena?" tanyanya antusias. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Aku hafal. Dia mengulang cerita yang sama selama tiga tahun ini.

end.




Lagi-lagi cerita seperti ini hehe. Vote dan share jika kalian menyukai cerita ini. Jika berkenan memberi saran, silakam comment. Kami selalu terbuka bagi kalian.

-JeB

Story Life of A MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang