Merinding sebetulnya mendengar bagaimana Jungkook berucap dengan hal yang sudah ditiliknya tidak akan pernah main-main. Seharusnya Jungkook lebih dulu melihat penyebab dari keadaan sang Istri berontak dan bergerak untuk menjadi pembangkang. Jaehwa tidak akan berlaku demikian, kendati tidak ada hal keras yang mampu mendorongnya bergerak untuk melawan. Sungguh, Jaehwa tidak ingin berkilah jika keadaannya memang ia pun menorehkan hal yang salah.
Berpikir keras di malam dengan hening yang kemarin-kemarin menyambangi. Jaehwa selalu berasumsi, bukankah ia harus berjaga-jaga jika bisa saja Jungkook dapat menendangnya. Wanita Hwang itu kelewat berpikir jika ia masih ingin menetap dengan hal sesederhananya sekatan untuk menghadang cuaca. Tidak ada yang salah juga, kan, ia kembali bekerja untuk menabung perihal kejadian di depan sana yang masih menjadi sebuah tanya.
Jaehwa memalingkan wajah jengah, bagaimana ucapan kasar pun dingin yang Jungkook utarakan beberapa menit lalu masih terngiang jelas di dalam kepalanya.
"Kau berkata seperti itu seakan aku yang memang terlihat sangat bersalah di sini. Apa aku juga yang harus disalahkan ketika kau bermain dengan sekertarismu di belakangku, Je?"
Jaehwa berujar datar dengan kekehan sengau tatkala menilik bagaimana gerangan suaminya tergugup dengan presensi yang seakan tengah tertangkap basah. Sejujurnya Jaehwa enggan untuk menjabarkannya terlalu cepat. Namun mengingat perangai Jungkook yang mampu membuat Jaehwa yang lagi-lagi dilihat seakan tidak tahu malu dengan berbuat seenaknya pada Jungkook.
"A-apa maksudmu, Jae?" Jungkook bertanya dengan perasaan yang dibuat sesantai mungkin. Bohong sekali jika Jungkook tidak merasakan apa-apa. Perasaan bergejolak akan kecapan bersalah menghantamnya untuk terus menelan ludah agar lagaknya terlihat baik-baik saja.
Jaehwa mendecih sinis dengan kelewat berani. Ayolah, darimana Jaehwa belajar untuk menunjukkan perasaan hina secara terang-terangan. Bukan hanya Jaehwa yang merasa terkejut selepasnya, suaminya pun merasa jika bendera perang benar akan digelar dengan seonggok keegoisan masing-masing. Jujur saja, barangkali di sini tidak ada yang ingin mengalah di antara keduanya.
"Dan nyatanya aku memang kelewat bersalah besar atas ini. Aku tidak pandai untuk menjaga hatimu agar terus melihatku, Je. Kau tahu, aku benar-benar merasa perjuanganku selama ini sia-sia. Seharusnya kau bilang padaku jika selama ini kau merasa tidak puas dengan segala apa yang aku berikan. Terlepas dari itu, kau malah mencari hal yang jauh lebih sempurna di luar sana dan mengambil penuh perasaan yang seharusnya masih tetap untukku."
Jaehwa berucap dengan kecapan yang sedikit tercekat. Pandangannya mengabur seiring dengan air mata yang kian merengsek untuk keluar. Jaehwa sakit, ia harus berucap sejujurnya untuk menunjukkan seberapa besar perasaannya untuk sang suami. Jungkook tidak akan pernah tahu dengan perasaan was-was, gelisah, tidak nyaman, mengutuk dirinya—di saat Jungkook teramat sering meninggalkannya untuk tertidur di ranjang seorang diri.
"Jae—"
"Jangan mendekat, Je! Kumohon, tetaplah di sana," selanya dengan pergerakan singkat untuk mengayunkan tungkai ke belakang di saat Jungkook melangkah untuk meraihnya.
Jungkook terdiam sejenak sebelum mengusak surainya kasar. Melihat bagaimana sorot itu menatapnya benci dengan penuh luka. Sungguh, Jungkook tidak ingin menyakitinya. Bagaimanapun, Jaehwa yang lebih dulu berperan mengambil hatinya sedari awal—meski Jungkook ragu dengan perasaannya saat ini. Atau bahkan sudah nyaris hilang dan diambil alih dengan ukiran nama Kim Yoora yang dicetaknya kelewat tebal. Bermain-main asing dengan Yoora yang kurang lebih hampir enam bulan nyatanya menggetarkan perasaan yang lain. Sedari awal Jungkook berkeinginan hanya untuk bermain-main saja, tidak lebih.
"Coba beritahu aku, sudah berapa lama kau berhubungan dengan sekertarismu, Je?" tanyanya dengan iris yang menatap lurus jelaga hitam di seberang sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labium pendusta; JJK
FanfictionAda banyak rahasia di balik sebuah punggung yang kokoh. Hwang Jaehwa membenci itu. Membodohi dan dibodohi seakan sudah menjadi asupan sehari-hari. Kendati menghirup kelebat bayang pun sudah muak mendarah daging. Namun, tetap saja. Jaehwa tidak padat...