Ada banyak hal yang kerap kali mengganggu isi kepalanya. Jaehwa terkadang merasa jika dirinya nyata berlaku tidak tenang-barangkali kecapannya selalu mengecap perasa pahit yang kelewat mengganjal. Seperti, ia yang selalu merasa jika daksanya membutuhkan sebuah pelampiasan yang mampu menampung dan membuat lukanya sedikit terasa hambar.
Ketika dadanya terasa sesak dan sakit, Jaehwa sedikit terkalang kabut dengan tubuh yang gemetar menahan tangis. Langkahnya pun terkesan menyeret paksa, berjalanpun terasa terpijak dengan acak seraya telapak kaki yang menjuntai untuk menapak anakan tangga. Tujuannya hanya satu, Jaehwa membutuhkan pelampiasan untuk rasa sakitnya. Ya Tuhan, Jaehwa merasa jika ia akan benar-benar gila sebentar lagi. Bukankah Jeon Jungkook kelewat jahat untuk membuatnya berlaku seperti ini.
Pintu kamar Jaehwa buka sedikit kasar, napasnya memburu tidak tenang. Ia berjalan ke arah nakas untuk mencari sesuatu yang mampu membuat Jaehwa menghembuskan napas lega. Sungguh, ini menyakitkan. Bahkan kepalanya kelewat pening untuk sekadar berpikir dengan jernih. Sebetulnya Jaehwa enggan untuk melakukan hal semacam ini. Hanya saja, ia tidak tahu harus melampiaskan segala rasa sakitnya melalui apa. Jaehwa butuh seseorang, butuh pelukan untuk menangkannya. Siapa itu, bahkan dirinya pun tidak tahu.
Irisnya memejam dengan bibir bawah yang digigitnya keras-keras. Epidermis yang terasa sakit namun melegakan itu menginvasi seluruh perasa. Perih, memang. Tapi Jaehwa menikmati itu. Setidaknya ini hal yang cukup mangkuh untuk menetralisir rasa sakit yang Jungkook lakukan meski daksanya harus menahan rasa sakit yang lain. Dihitung-hitung, sudah lama Jaehwa menyingkirkan hal-hal berbau tajam seperti ini. Hanya saja, entahlah Jaehwa masih enggan untuk berpikir.
Cairah kental berbau amis sedikit menetes ke permukaan lantai. Jaehwa mengembangkan napas lega, meski itu tidak mengurangi apa yang menghantam perasaannya hari ini. Ayolah, bukankah Jaehwa harus berlakon sekuat mungkin. Barangkali Jungkook akan mencibirnya jika mengetahui si Hwang ini berlaku lemah semacamnya pecundang.
"Aku sakit, Je," lirihnya tercekat dengan presensi yang sekuat tenaga menahan tangis agar tidak pecah.
•••
Masi beruntung Jaehwa tidak datang terlambat untuk memulai siarannya hari ini. Setelah membereskan semua kekacauan yang dibuat, Jaehwa dengan lantas bergegas dengan tampilan formal baju berlengan panjang yang dibalut jas berwarna senada. Barangkali Jaehwa tidak bodoh untuk membiarkan orang-orang menatap aneh luka mengerikan yang pagi tadi tangan ringkihnya buat. Satu mahakarya Jaehwa ciptakan hari ini. Diam-diam ia tersenyum miris dengan hati yang kembali berdenyut.
"Ingin makan siang bersama, Nona Hwang?"
Jaehwa sedikit tersentak ketika menoleh mendapati Jimin bersandingan di sebelahnya setelah berucap hangat dengan pandang lurus ke depan. Kedua sudut bibirnya tertarik untuk membalas pula bagaimana pemuda Park itu tiba-tiba menoleh seraya tersenyum manis. Jaehwa dengan sigap mengangguk mantap.
"Kebetulan sekali aku memasak lebih hari ini, Pak. Ingin menghabiskannya denganku?" Jaehwa berucap dengan sedikit membinar. Bukan apa, setidaknya hidangan yang Jaehwa buat tidak akan tersisa dan berakhir menyedihkan di tempat sampah.
"Benarkah? Ide yang bagus, Jae. Apa kita perlu berjalan sedikit untuk menyeberang jalan. Sepertinya kafe di seberang sana cukup untuk membuat beberapa hidangan pencuci mulut selepas menghabiskan bekal makan siang ala Nona Hwang."
Kecapan beruntun dari Jimin mampu membuat Jaehwa lagi-lagi tersenyum. Apa Jaehwa terlalu berangan jika mengharapkan Park Jimin dapat merengkuhnya di saat si perasa sakit menerjangnya kembali. Kendati Jaehwa hanya dapat memukul semuanya jauh-jauh. Jahat sekali bukan, bahkan ia sudah berniat untuk memanfaatkan atasannya di saat seperti ini. Tidak, tidak, Jaehwa selalu bertekad jika semuanya bisa ia atasi sendiri. Sungguh, nyatanya Jaehwa lagi-lagi berlaku naif.
![](https://img.wattpad.com/cover/211379171-288-k908466.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Labium pendusta; JJK
FanfictionAda banyak rahasia di balik sebuah punggung yang kokoh. Hwang Jaehwa membenci itu. Membodohi dan dibodohi seakan sudah menjadi asupan sehari-hari. Kendati menghirup kelebat bayang pun sudah muak mendarah daging. Namun, tetap saja. Jaehwa tidak padat...