Ada banyak kecapan yang mampu membuat Jeon Jungkook seakan bisu dengan pikiran yang bercabang kemana-mana. Keadaan di mana Jaehwa yang berontak—membuatnya sedikit mendengus seraya memijit pelipis yang seringkali mengerut tiba-tiba. Sekarang keadaanya benar-benar kacau, Jungkook tidak mungkin kembali menyeruakan kilahan yang nyatanya sudah tertangkap habis oleh istrinya. Percuma ingin menjelaskan sesuatu di saat Jaehwa secara terang-terangan ingin berperang dengan mainan yang nyata bagi keduanya.
Baiklah, jika itu kehendak Jaehwa—Jungkook akan mengikut juga. Bermain secara terang-terangan, kan? Jungkook akan lakukan itu. Barangkali si Jeon bisa saja menangkap guratan merah dari si Hwang yang tengah geram menahan hatinya yang terbakar cemburu. Entahlah, ini sudah kelewatan berengsek, tapi nyatanya Jungkook tersenyum tipis dengan perasaan geli yang menggelitik. Sialan sekali, sungguh. Ini bukan waktu yang tepat untuk berlaku demikian.
Selepas perdebatan semalam tadi, nyatanya Jungkook dam Jaehwa masih berkeinginan untuk berbagi ranjang meski dengan keadaan punggung yang saling bersinggungan. Entah memang keduanya sudah tertidur, atau malah masih berpikir keras perihal ucapan-ucapan yang terlontar dengan panas beberapa jam yang lalu. Suasana malam tadi benar-benar hening. Bahkan ketika pagi pun, Jaehwa masih enggan untuk sekadar membangunkan suaminya. Jaehwa hanya bergegas untuk membersihkan diri dan turun ke bawah untuk membuat sarapan. Sungguh, ia masih ingat untuk sebuah kewajiban.
Tangannya sibuk ke sana ke mari untuk membuat sarapan—meski ada beberapa hal yang sedikit membuatnya bergerak seraya menyorot dengan pandangan kosong. Kepalanya terasa benar-benar sakit, ada hal yang ingin Jaehwa tumpahkan, tetapi terasa berat untuk dikeluarkan. Apa sepulang kerja nanti ia harus meminggirkan kemudi untuk menapaki kedai di pinggir jalan agar Jaehwa dapat menyesap beberapa gelas alkohol. Sungguh, bahkan masakannya nyaris menghangus jika saja suara bel dari pintu depan tidak berbunyi. Pelipisnya mengerut seraya jemarinya bergerak untuk mematikan kompor.
Bukankah terlalu pagi untuknya jika diharuskan untuk menerima tamu?
Entahlah, Jaehwa bergegas untuk menghampiri si Gerangan yang berkali-kali menekan bel. Hatinya sedikit menggerutu sebal. Apa tidak bisa menunggu sedikit saja. Sungguh, dalam keadaan seperti ini, Jaehwa tidak segan-segan untuk memaki perihal apapun. Seperti mendapatkan sebuah pancingan yang kelewat besar, nyatanya Jaehwa benar-benar terlaksana untuk sekedar menghardik keras-keras. Bagaimana bisa si Nona Selingkuhan dengan pandangan yang dibuat hangat menyambangi kediamannya.
Si Berengsek itu!
Dari sorot mata saja, seharusnya Kim Yoora tahu bahwa si Hwang ini tidak suka dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Tujuan pikirannya tertuju ke pada Jungkook yang sungguhan kelewat sialan itu. Ayolah, suaminya benar-benar ingin memulai. Barangkali Jungkook berniat untuk mengakuinya secara terang-terangan. Oke, Jaehwa tidak dapat berlaku apapun. Sekarang hak dan kewajibannya ingin wanita itu kesampingkan dulu.
Jaehwa masih menatap datar bagaimana selingkuhan suaminya seakan terlihat risih dengan pandangan yang ia bubuhkan. Sekejap memalingkan wajah dengan decihan samar, Jaehwa lantas menarik napas dan tersenyum tipis.
"Masuklah," titahnya pelan.
Seakan sudah tahu apa tujuannya, Jaehwa dengan sugudang harga diri yang barangkali dibawanya dengan gemetar—menyuruh Yoora untuk masuk dengan pintu yang ia buka kelewat lebar. Diam-diam Jaehwa tersenyum miris, nyatanya ia terlalu lemah untuk sekadar menggenggam harga dirinya saja. Jika seperti ini, siapa yang tidak tahu malu? Dirinya atau si Kim itu. Bahkan Jaehwa malah dengan senang hati mengijinkan si pengacau hubungannya dengan Jungkook menginjakkan kaki ke dalam kediaman.
Lihatlah, harga dirinya sudah mati sedari dulu.
Masih dalam tubuh yang terdiam sejenak di depan pintu yang terbuka, suara di belakang sana menginterupsi rungunya untuk sekadar menangkap seruan sapa manis yang Jungkook kecapkan untuk sekertarisnya. Tangan yang masih menggantung di gagang pintu Jaehwa rematkan. Sialan, ia tidak akan lemah, kan. Sungguh, ini masih terlalu pagi jika mengharuskan Jaehwa untuk membunuh kedua manusia keparat itu.
Ketika Jaehwa hendak berbalik untuk merampungkan masakannya yang tertunda, presensi Jungkook terlebih dulu menghadangnya dengan Yoora tepat di balik tubuh tegas itu. Jaehwa mendongak dengan alis yang terangkat satu. Ya Tuhan, itu benar-benar terlihat sangat menantang.
"Aku akan sarapan di luar. Jadi, kau tidak perlu memasak untukku."
Entah sudah kali keberapa Jungkook berucap dengan alibi. Atensinya tidak dapat dibohongi jika ia sempat menilik sekilas beberapa hidangan yang sudah sebagian rampung di atas meja makan. Jungkook berlaku dengan sengaja, ia ingin menangkap bagaimana reaksi istrinya yang tengah berlaku seakan wanita itu terlihat baik-baik saja. Memanggil Yoora untuk menjemputnya dan memilih sarapan bersama di luar memang terlihat kejam. Sungguh, Jungkook menantikan sahutan dari mulut Jaehwa.
"Aku tidak memasak untukmu, Je. Aku mengundang Jimin untuk sarapan bersama. Jadi pergilah, Jimin sebentar lagi akan sampai."
"A-apa?" Jungkook menatap dengan pelipis mengerut tidak terima.
Jaehwa mengecap ada sedikit perasaan bangga dan menyedihkan secara bersamaan. Menyorot bagaimana Jungkook terlihat mengeraskan rahang dengan tatapan yang berubah sedikit menajam—membuat Jaehwa tersenyum kemenangan dalam diam. Ucapannya hanya sekadar bualan semata untuk meyakinkan kecapan, itu salah satu hal yang terlihat lagi-lagi menyedihkan. Sarapan bersama apanya, kenyataannya Jaehwa pun tidak membalas pesan masuk dari pemuda Park itu yang dikirimkannya malam tadi.
"Baguslah, jadi masakanmu tidak akan terbuang sia-sia, Jaehwa." Jungkook berucap dingin dengan kelewat datar.
Sakit, sungguh, hatinya kembali dihantam tanpa jeda. Bagaimana bisa Jungkook berlaku sebajingan ini. Wanita Hwang itu melupakan gerangan jika Jungkook memang kelewat bajingan. Jaehwa mendongak kembali untuk menatap jelaga hitam itu yang meniliknya keras. Pandangan Jaehwa turun ke arah di mana lengan penuh Jungkook tiba-tiba saja dengan sigap meraih pergelangan tangan Yoora sebelum menariknya pelan untuk segera bergegas mengikuti langkahnya.
Penghidunya membaui aroma Jungkook tatkala pemuda itu melangkah dan hanya melewatinya saja. Jaehwa hanya terdiam di dalam pijakan, ia benar-benar tidak ingin menahan-nahan. Tatapannya jatuh kepermukaan lantai selepas pintu yang tertutup dengan suara yang sedikit ada bantingan. Cuaca di luar sana sudah nyaris mencapai minus, apa bedanya dengan keadaan di dalam hunian. Semuanya pergi, hanya tersisa Jaehwa seorang diri yang hampir sekarat dengan sisa udara pahit dihirupnya dalam-dalam.
Atensinya terpejam sesaat sebelum menengadah ke atas dengan kepalan tangan yang memukul kecil dadanya. Ini teramat sesak, sungguh. Kepalanya kembali dihantam dengan perasa pening yang mengerubungi. Tidak ingin banyak drama dengan melow-melow lemah seakan tidak bisa bergegas untuk menguatkan diri. Tapi demi Tuhan, ini benar menyiksa. Jaehwa butuh pelampiasan yang nyata untuk segala rasa sakitnya. Ia harus lebih besar menabung rasa untuk berlakon kuat melawan tabiat Jeon Jungkook yang sudah sepatutnya Hwang Jaehwa benci. []
•••
Saya ngerasa lelah, euy:")
Semangat, ya, buat kalian💜

Daliii💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Labium pendusta; JJK
FanfictionAda banyak rahasia di balik sebuah punggung yang kokoh. Hwang Jaehwa membenci itu. Membodohi dan dibodohi seakan sudah menjadi asupan sehari-hari. Kendati menghirup kelebat bayang pun sudah muak mendarah daging. Namun, tetap saja. Jaehwa tidak padat...