11. Ketakutan

3.2K 391 49
                                    

Park Jimin tahu semuanya tidak akan pernah membaik seiring dengan si Jeon yang tidak pernah berubah. Oke, bisa simak sedikit bagaimana bayangan ketika ia masih satu sekolah dengan Jungkook kala itu. Sebetulnya, Jimin dapat dibilang keduanya teman yang cukup dekat. Hanya saja, Jimin terkadang kelewat muak bagaimana gerangan yang masih menjadi suami dari wanita yang disayang—kerap kali berkhianat sana sini. Dengan omongan perihal taruhanlah, atau semacamnya.

Jimin menatap bagaimana surai yang terseok sayu terbawa angin betulan menggelitik manja penglihatan. Jaehwa terlihat kuat untuk sekadar kembali menahan tangis di hadapan gerangannya. Sungguh, lepas dulu saja Jimin yang berlaku sebagai atasan. Mungkin Jimin hanya ingin mendekap bagaimana daksa mungil itu melimpah ruahkan air mata dalam pandangannya. Demi Tuhan, Jimin buka seorang yang dengan berengsek memanfaatkan keadaan. Jimin tahu bagaimana gerangannya bertindak untuk sekadarnya memberikan pelukan hangat pada sang jelita.

"Menangislah, di hadapanku kau itu juga wanita yang suka menangis." Jimin berucap seraya pandangan dialihkan ke depan sana.

Jaehwa lantas menoleh dengan redupan pada binar yang kian kentara. Gigitan pada bibir bawah yang dirasa terlihat sangat kuat, dengan lantas Jimin bergerak mendekat untuk menghentikan apa yang wanita di depannya lakukan. Tangan pemuda itu menarik hangat Jaehwa agar masuk ke dalam pelukan. Jaehwa membutuhkannya, bukankah begitu. Jimin mengusap pelan rambut yang selalu menjadi candu untuk dihirup. Merasa jika tubuh kecil itu bergetar dengan isak yang mulai terdengar, Jimin mengeratkan pelukannya seraya membisikkan kecapan perasaan sayang yang dibumbui perasa kuat untuk bangkit.

Jaehwa menenggelamkan wajahnya yang terasa panas dengan kecapan basah karena menangis. Air matanya luruh begitu saja. Jimin kelewat tahu jika Jaehwa nyatanya tidak sekuat itu. Jaehwa pun sama dengan yang lainnya. Meredam tangis sendiri, mengubur pesakitan sendiri, nyatanya Jaehwa berontak karena lelah. Dan kini, biarkan Jaehwa berbagi dengan orang yang mampu membuatnya bangkit untuk sekedar menunjukan guguran air mata yang meluncur dari pelupuk.

"K-kau tahu 'kan, Ji. A-aku selama ini bukan wanita yang kuat. B-bahkan aku sudah sering menangis di hadapanmu," ujarnya dengan ringisan tangis yang tercekat. Jaehwa merasa kerongkongannya sakit. Menahan tangis lama-lama membuatnya malah dirundung sakit yang lain.

Jimin memejamkan irisnya seraya mengecup puncak kepala wanita yang masih mengepalkan kedua tangannya. Jimin mengangguk-angguk tidak kentara. Sayang sekali, Jimin tidak tahu harus mengutarakan seperti apa. Hanya ini yang dapat dilakukannya untuk sekarang. Hati yang terluka itu tidak dapat dihadapi dengan perihal yang main-main. Bahkan lukanya dapat membekas sampai bertahun, atau puluh tahun lamanya. Jimin tahu dan bersalut hebat pada gerangan si Jelita yang menjadi candu untuknya.

"Tidak semua hal yang membuatmu menangis itu karena lemah, Jae. Bahkan kau wanita kuat yang hebat. Terimakasih sudah bertahan selama ini. Kau lelah 'kan, sudah seharusnya kau bahagia. Aku akan terus ada di sini untukmu."

Jimin bersumpah ia tidak mengada-ada dengan segala hal yang Jimin kecapkan. Sepeduli itu, sesayang itu, seingin itu, secinta itu Jimin pada wanita Hwang yang menjadi kegelisahannya di malam hari. Tidak menghiraukan dalam bajunya yang basah, Jimin terus saja merengkuh untuk terus mengeratkan pelukan.

Bukan apa Jaehwa melimpahkan segala tangis penuhnya pada Jimin. Sebetulnya Jaehwa merasa ketakutan yang buatnya tidak kentara. Gejolak pikir yang membuatnya tiba-tiba menangis, atau tiba-tiba merenung kosong. Ada banyak ketakutan yang bergelantungan di dalam pikirannya. Bagaimana jika keputusan yang diambil bukanlah perihal yang benar.

"Ada banyak ketakutan yang aku pikirkan, Ji. Salah satunya, ketakutan akan penyesalan yang bisa saja datang seiring pilihan yang sudah aku tetapkan. Aku takut menyesal dengan pilihanku, Ji. K-katakan jika semuanya akan baik-baik saja."

Jimin mengangguk mengerti. Pemuda itu tahu, akan ada pilihan yang tidak semuanya menimpal balik dengan apa yang diharapkan. Kendati seperti itu, Jimin mengepal kuat jika pilihan yang Jaehwa lakukan adalah hal yang dibenarkan. Jaehwa tidak bisa terus melukai dirinya dengan bekalan cinta besar untuk Jungkook. Di sisi lain, bahkan pemuda itu dengan kelewat terang membagi hatinya untuk wanita yang lain. Tidak, tidak bisa begitu. Bagaimanapun, sesuatu yang serakah tidak akan pernah bertahan lama. Jimin kuatkan itu.

"Semuanya akan baik-baik saja, Jae, percaya itu. Kau pihak yang merugi dengan tubuh yang pesakitan selama ini. Kebahagiaanmu yang utama. Jangan berpikir yang tidak baik, percaya itu. Kau sudah benar dengan keputusanmu."

Jaehwa kembali meremat tangannya yang sudah basah karena keringat. Binar matanya memerah, sungguh terlihat berantakan. Wanita itu memejamkan irisnya kembali. Jaehwa tidak tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Tapi Jaehwa tidak salah untuk sekadar mendengarkan apa yang Jimin katakan. Jaehwa tidak sendirian. Setidaknya Jimin ada untuk membuatnya sedikit membaik dan bersyukur karena memiliki orang yang mampu merangkul di kala tubuhnya terseok karena lelah.

Jimin tersenyum hangat tatkala mendapati wanita yang masih dalam dekapannya menganggui pelan. Kendati Jimin bisa sedikit bernapas lega dengan Jaehwa yang mendengar segala pemaparannya.

"Aku akan mendengarkanmu, Ji. Satu minggu mulai dari sekarang sebelum persidangan, aku akan menyiapkan diri agar semuanya berjalan dengan lancar. Terimakasih untuk semuanya, Park Jimin." []

•••

Labium pendusta; JJKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang