Ruangan bersampulkan putih pucat menjadi saksi di mana Jaehwa terduduk di atas sopa yang berhadapan dengan suaminya. Perkataan yang Jungkook lemparkan tadi mampu menyeretnya untuk menepi di sini lebih lama. Entahlah, Jaehwa muak jika harus terus diam disegala ocehan Jungkook yang meluber ke mana-mana. Di waktu yang dikira tepat, Jaehwa ingin mengeluarkan tabiatnya untuk belajar berujar dengan pemikiran dewasa.
Selepas Jungkook berucap kelewat tajam beberapa menit yang lalu, Jaehwa lantas mendengus seraya menyuruhnya untuk terduduk saling berhadapan. Membicarakan semuanya dengan akal dan pikiran yang dewasa, tidak untuk mengakhiri dengan pola pikir seperti bocah yang baru berkembang. Sejujurnya, Jaehwa tidak ingin berlama-lama di dalam ruangan dengan suaminya. Hanya saja, Jaehwa merasa asing—atau bahkan ruangannya mendadak terasa sesak. Jaehwa tidak dapat menghitung seberapa kali ia mengembuskan napas hanya untuk meredam denyutan yang kian menjadi tatkala irisnya saling beradu tatap dengan si Direktur Jeon.
"Keputusanku sudah bulat. Aku akan mengakhiri semuanya sampai di sini saja, Je."
Manis sekali panggilannya. Apa Jaehwa masih berhak untuk menyerukan seruan sayangnya seperti itu. Baiklah, boleh saja. Kendati Jaehwa akan mengubah arti di balik panggilan itu—yang asal mulanya kecapan sirat akan sayang, dan kini berubah menjadi seorang teman biasa pada umumnya. Ya, teman. Barangkali itu perlahan akan menjadi hal yang baik.
Pemuda itu mengusak rambutnya kacau. Jungkook mendadak jadi pemuda yang kelewat idiot. Bahkan labiumnya masih-masing sempat untuk menyakiti lewat lisan beberapa menit yang lalu. Sebajingan itu memang dirinya. Perasaannya tidak dapat menampik jika Jungkook tidak dapat menyetujui keputusan sepihak yang baru saja istrinya lontarkan.
"Kau tidak bisa membuat keputusan itu sepihak seperti ini, Jae. Dan untuk ucapanku tadi, aku minta maaf untuk itu."
Ingin terkekeh miris, tapi Jaehwa tahan dalam-dalam. Bukan apa, hanya saja Jaehwa enggan kembali menunjukkan jika ia seolah sedang menantang. Tidak, Jaehwa akan jadi pihak pertama yang berlaku seakan damai. Tatapannya Jaehwa jatuhkan sesaat ke arah sepatu yang sedikit kotor terkena noda sebelum kembali menatap sayu ke arah jelaga yang masih sama menyorotinya sayu.
"Maka dari itu aku akan membicarakannya denganmu saat ini. Apa alasanku, rasa sakitku, seberapa banyak aku menahan sakit—aku akan menjelaskannya jika kau bersedia mendengarkan seberapa jahatnya kau melakukan itu padaku, Je. Dan untuk permintaan maaf, bahkan kau tidak mengucapkan itu setelah aku melihatmu bercinta beberapa waktu yang lalu." Jaehwa merasa getir pada setiap kecapan seraya ingatan yang tanpa aba terus saja mengulang selayaknya film.
"Aku sudah tahu seberapa berengseknya si Bajingan ini untukmu, Jae. Bagaimana bisa aku membiarkanmu terluka sampai-sampai kau meminta untuk berpisah denganku." Jungkook nyaris tercekat di akhir kalimat dengan pandangan ia coba untuk mendongak seakan menahan genangan pada pelupuk agar tidak terjatuh.
Kenapa Jungkook mendadak sakit dan menyesal kacau seperti ini. Jika diingat, bukankah pemuda itu selalu menanam akan lontaran, 'Berani bergerak, berani bertanggung jawab'. Namun sial, untuk saat ini ia ingin melupakan kecapan angan seperti itu. Jungkook tahu seberapa dalam ia menyakiti wanitanya. Tapi sungguh, jika kembali lagi mengingat siapa yang ia seret ke dalam hunian rumah tangganya, Jungkook selalu mendadak berdebar walau tidak kentara. Bukankah itu yang membuat semuanya menjadi kacau? Seakan pemuda itu betulan cinta pada si Selingkuhan. Namun nyatanya jauh dari itu, siapapun dapat menilik jika Jungkook hanya sekadar menganggumi presensi yang lain di saat ia merasa jenuh dengan Hwang Jaehwa yang nyaris lima tahun bersama-sama.
"Kau tahu itu, bahkan kau membiarkanku menahan sakit seorang diri dengan bibir yang terluka sebab kugigit untuk menahan tangis saat mengingat kenyataan. Dan kurasa, perpisahan akan jadi pilihan yang terbaik untuk kita berdua, Je." Jaehwa mencoba untuk tersenyum pahit di sela jemari yang saling meremas kuat. Hentakan pada dadanya kian bergejolak perih.
Jungkook menggeleng tidak menyetujui. "Maafkan aku, Jae. Sungguh, maafkan aku. K-kau bisa memukulku, menamparku, mencaciku sepuasmu, Jae. Asalkan tidak untuk berpisah, masih ada jalan keluarnya selain itu."
Jaehwa pun melontar sama dengan gelengan kuat. Keputusannya sudah bulat, ia tidak ingin mengubah-ubah dengan segala alasan yang Jungkook berikan. Cukup, sampai di sini. Bukannya enggan memberi kesempatan yang lain, namun nyatanya Jaehwa terlaku sering memberikan kesempatan dengan timbal balik yang percuma. Jika di sini bukan kebahagiannya, Jaehwa akan mencari kebahagian lain di luar sana.
"Aku tidak akan mengubah keputusanku, Je. Meski aku sudah merasakan sakit yang kelewat sakit, mana mungkin aku tidak memaafkanmu—" Jaehwa menjeda sesaat sebelum kembali melanjutkan dengan suara yang dibuat tidak bergetar, "bolehkan aku memulukmu untuk yang terakhir kalinya, Je?"
Jaehwa menggigit bibir dalamnya tatkala melihat bagaimana kepala itu mengangguk setuju seraya obsidian yang memerah penuh dengan air mata.
"Kau boleh memelukku kapan saja, Jae," katanya seraya tubuh yang beranjak untuk berjalan ke arah seberang agar dapat memeluk daksa ringkih yang menyimpan beribu luka yang ia buat.
Wanita Hwang itu tidak dapat menahan air matanya tatkala dapat merasakan bagaimana bahunya terasa basah. Jaehwa tidak dapat melihat jika Jungkook berlaku lemah seperti ini. Kemana Jungkooknya yang kelewat sialan, bajingan, berengsek—bukan yang senang menghamburkan air mata untuk hal yang sudah terlanjur menjadi.
"Terimakasih untuk lima tahunmu yang selalu ada untukku, Je. Setelah ini, hiduplah dengan baik. Jangan menunda-nunda untuk mengisi perut, karena aku tidak ada untuk sekadar mencubitmu agar cepat makan. Jangan terlalu banyak main game, jika lelah bekerja jangan terlalu memaksakan. Kau bisa minta bantuan Yoora untuk memasangkan dasimu saat pagi. Kuharap hubungan kalian tidak akan pernah gagal seperti hubunganku."
"T-tolong maafkan aku, Jae."
Jaehwa memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tidak bisa terlalu lama seperti ini. Jaehaa tidak yakin jika pertahanannya akan kokoh lebih lama. Situasi seperti ini mampu membuat perasaan terombang-ambing dengan getir. Dengan perlahan Jaehwa menarik tubuhnya pelan agar sedikit membuat jarak.
"Jangan terus meminta maaf. Aku terlihat betulan jahat kalau begitu," ujarnya dengan tangan yang tersampir di pipi pemuda itu yang terasa basah. "Jarang sekali aku melihatmu menangis, Je. Kemana Jungkookku yang kuat. Berhenti menangis, ya, aku tidak bisa melihatmu menangis seperti ini."
"Kalau begitu jangan pergi, Jae." Jungkook berucap seraya menggeleng pelan.
Jaehwa hanya tersenyum tipis sebelum melepaskan tangannya selepas menghapus sisa air mata milik pemuda yang terlihat kacau. Jaehwa menarik tubuhnya untuk sekadar berpura menilik jam tangan yang melilit di pergelangan tangannya. Jaehwa harus cepat beranjak, ia tidak ingin keputusan buyar dengan penyesalan yang datang selalu paling akhir.
"Aku harus pergi, Je. Siaranku akan mulai satu jam lagi. Jaga dirimu baik-baik, aku pamit." Jaehwa memutuskan untuk sedikit membenahi tampilannya sebelum beranjak pergi.
Jaehwa menyempatkan diri untuk menepuk pelan pundak lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantanya seraya tersenyum hangat sebelum membungkuk untuk undur diri. Ketika Jaehwa hendak berbalik untuk melanjutkan langkahnya, pergelangan tangannya lebih dulu dicekal pelan.
"Setelah ini, hiduplah dengan bahagi, Jaehwa." []
•••
L
ama baliknya ya, huhuhu:")
Mungkin aku up satu chapter lagi untuk aku jadiin E-book, atau mau ini yang terakhir:" omong-omong enaknya aku open PO habis lebaran, atau gimna? Ada yang pejuang THR di sini, ayo merapat😭👍Aku gak tega bikin dia nangis😭😔


Daliiii💜💜💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Labium pendusta; JJK
FanfictionAda banyak rahasia di balik sebuah punggung yang kokoh. Hwang Jaehwa membenci itu. Membodohi dan dibodohi seakan sudah menjadi asupan sehari-hari. Kendati menghirup kelebat bayang pun sudah muak mendarah daging. Namun, tetap saja. Jaehwa tidak padat...