"Kamu ngantuk?" Tanyanya ketika kami sampai di kamar.
Aku agak sedikit lega ketika genggaman tangan ini terurai saat ia harus memasukan kartu ke tempatnya.
"Belum, tadi kan sempet ketiduran, Mas." Jawabku jujur dan ia mengangguk.
Aku bingung.
Bingung harus langsung masuk kamar atau duduk santai di sofa?? Gosh!Aku akhirnya ke dapur, mengambil air mineral untuk menenggaknya banyak-banyak. Tak kuduga, ternyata ia menyusulku ke dapur, membuat jantungku kerja rodi kembali.
"Aku bingung ngomongnya." Ucapnya tiba-tiba, membuatku hampir tersedak air yang sedang kutelan.
"A--apaan?" Tanyaku.
"Aku bingung kenapa kita harus nginep di sini padahal aku udah ada rumah, bingung harus gimana karena aku belum terlalu kenal kamu, dan bingung manggil kamu apa karena kita gak punya panggilan spesial, tapi aku ngerasa manggil nama pun agak gimana. Aku bingung gimana kita memulai hubungan ini."
Aku diam. Tak menyangka ia akan berbicara panjang begitu. Dan, ternyata ia merasakan juga apa yang aku rasakan.
"Mas sebelumnya pernah pacaran?" Tanyaku.
Ia mengangguk, tersenyum malu. Membuatku bingung harus merespon apa.
"Tapi cuma sekali. Dan itu pun gak berhasil."
"Gak berhasil gimana?" Tanyaku.
"Ya buktinya aku nikah sama kamu."
Aku menelan ludah. Diam. Menyadari satu hal.
Ada wanita lain yang ingin dinikahinya.
Well, harusnya aku biasa saja. Pernikahan kami kan sudah diatur oleh keluarga. Aku gak memilih dia menjadi suamiku, pun sebaliknya. Aku pernah mencintai Tata, maka dari itu aku sekarang mengandung anaknya, namun ia tak mencintaiku sebesar yang kuberikan padanya. Dan, suamiku ini. Ia memiliki wanita pilihannya, dan entah apa yang terjadi pada mereka hingga akhirnya ia malah menikah denganku.
"Aku salah ngomong ya? Kok kamu diem?" Aku melirik ke arahnya, ia terlihat sedang meneliti wajahku.
"Engga kok."
"Maaf."
"Maaf buat apa?"
"Maaf kalau aku salah ngomong." Katanya.
"Gak apa-apa kok."
Aku beranjak dari dapur, meninggalkannya dan beralih duduk ke sofa. Memandang TV yang sudah menyala, menampilkan acara demo alat fitnes.
Ia menyusulku, duduk di single sofa yang ada di dekatku. Bisa kurasakan pandangannya saat ini tertuju padaku, bukan pada layar televisi.
"Ginevra." Ia memanggil nama asliku dengan lembut, membuatku refleks menoleh padanya, dan langsung terpaku pada tatapan teduh yang ia miliki.
"Kenapa?"
"Gak apa-apa," katanya, seolah menahan apapun yang ingin diucapkan kapadaku.
Mengalihkan pandangan sejenak, aku menarik nafas panjang untuk menyiapkan diri. Entah kenapa, aku merasa harus menjadi orang yang membuka obrolan penting dengannya.
"Mas Putra?!"
"Ya??"
Aku mengganti posisi dudukku, bergeser sedikit jadi menghadapnya.
"Sebelumnya aku mau bilang makasi. Makasi karena mau jadi orang yang mencemplungkan dirinya ke hidup aku, makasi karena mau bertanggungjawab atas hal yang gak Mas Putra lakukan. Makasi karena tindakan Mas Putra yang bersedia nikah sama aku, menyelamatkan reputasi keluargaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta yang lain
ChickLitKalau ada yang ingin kuubah dari hidupku, adalah aku berharap bisa lebih cepat bertemu denganmu dan lekas mencintaimu banyak-banyak. itu saja.