3. Lamaran-Tunangan

3.8K 524 20
                                    

"Ganteng dek, asli! Abang gak bohong!" Seru Bang Juna ketika masuk ke kamarku, aku ingin menoleh, melihat ekspresinya, namun aku juga gak mau wajahku yang sedang dirias ini berantakan.

"Seumur siapa? Tua?"

"Di atas Bang Aril, di bawah Abang kayanya sih. Pendiem anaknya. Tampang penurut gitu."

Make-up artisku mengisyaratkan kalau dandananku selesai. Aku memeriksa ulang wajah di cermin dan... well, aku tersenyum pada gadis cantik di hadapanku ini dan ia pun langsung tersenyum padaku.

"Yuk! Kita nunggu di dapur aja, biar Abang bisa sambil nyuil kue."

"Abang ihhh!!"

Menuruti Bang Juna, aku bergabung dengan beberapa keluarga yang ada di dapur, termasuk Bang Aril ada di sana.

"Ihh ya ampun neng Ginny cantik amat??!" Ucap salah satu tanteku.

"Si Ginny kan jarang dandan Tan, jadi gini sekalinya dandan." Sahut Bang Aril.

"Yakin tante mah kalau pas nikah langsung manglingi."

Aku hanya tersenyum, bingung mau ngomong apa.

Fokus pada ponselku, aku melihat beberapa postingan teman-teman dekat yang kuundang, aku baru tau kalau dekoran di depan rumah ternyata bagus, dan aku juga melihat mereka memvideokan pria yang melamarku ini, dan entah kenapa, jantungku langsung berdetak tak karuan.

"Yuk dek! Ke depan." Ajak Bang Aril.

"Heeeh??"

"Iya ayok!" Sahut Bang Juna.

******

Proses tunangan, ehh lamaran, ehhh apalah itu akhirnya selesai. Mau-tidak-mau, aku menerima lamaran lelaki asing yang datang bersama keluarganya itu.

Dan, di sinilah kami, halaman belakang rumahku, duduk di bangku dekat kolam renang karena keluarga kami menyuruh kami untuk saling mengenal.

"Mas tahu aku hamil?" Tanyaku, aku diminta memanggilnya Mas, dan tentu saja kulakukan, umurnya memang jauh lebih tua di atasku. Aku baru 19 dan ia sudah 28 tahun.

"Tahu, Mama cerita soal kamu."

"Mau?? Kan punya pilihan buat nolak."

"Iya, tapi aku percaya orangtuaku, mamaku, pasti pilihin yang terbaik buat aku. Mama bilang kamu dari keluarga baik-baik, kamu anak baik-baik yang kebetulan sedang mengalami kejadian yang kurang baik."

"Mas anak Mama banget ya?"

"Ya pasti aku anak Mama, tapi kalo yang kamu maksud itu manja atau gak bisa ambil keputusan tanpa Mama, gak sepenuhnya gitu. Aku selama ini memang banyak diatur sama Mama, tapi semua kembali ke aku jalaninnya gimana, final desicion tetep aku yang ambil." Jelasnya.

Aku tersenyum, ia ternyata tidak sependiam tampangnya. Aku senang mendengarnya bicara banyak-banyak.

"Makasih, mau terima aku." Ucapku tulus.

"Aku dong yang bilang makasi, kan aku yang ngelamar, kamu yang nerima."

Lagi-lagi aku tersenyum pada pria ini.

"Kenapa kamu mau ngelamar aku?"

"Yang aku bilang tadi, Mama ceritain soal kamu, dan nanya apa aku mau take place as a father for your kid, aku mikir, dan... why not?"

"Kenapa segampang itu? Kita gak kenal sebelumnya."

"Aku capek kenalan sama orang, aku pernah mencari, menemukan, lalu kehilangan. Aku capek ngikutin proses kaya gitu. So, when there is a shortcut, I'll take it. Mama udah nyariin, daripada aku pusing-pusing nyari sendiri."

Kali ini aku bingung harus menanggapi apa, mungkin memang benar, ada orang yang jalan pikirannya sesimpel dia.

"Kita bakal nikah, gak nyampe 2 bulan lagi, gimana?" Tanyaku. Mami dan Mamanya sudah menentukan tanggal, 35 hari dari sekarang dan itu membuatku sangat gugup.

"Ya gak gimana-gimana, kita emang dikejar waktu sih. Paham kan?"

Aku mengangguk.

"Kamu mau tetep tinggal di sini? Atau ngikut aku." Tanyanya.

Aku diam sejenak. Ia tersenyum, seperti memahami kalau aku butuh waktu untuk berfikir.

Aku melihat sekelilingku. Rumah ini bukan tempat aku menghabiskan masa kecilku. Rumah ini baru kutinggali saat Papi mendapat jabatan yang lumayan tinggi di kampus tempatku membina ilmu. Gampang saja buatku meninggalkan rumah ini, tak banyak kenangan yang terjadi di sini.

"Aku ikut kamu, boleh?!"

"Sure! Aku udah pasang iklan buat jual apartmentku, dan kalau laku uangnya buat DP dan nyicil rumah. If I want to build a family, it must start with a home, right?"

"Aku doain apartmentnya cepet laku."

"Amin. Makasi doanya."

Aku mengangguk, tersenyum, sekaligus takjub karena betapa mudahnya aku mengenal pria ini.

Semoga, jalanku bersamanya pun akan selalu mudah.

Semoga.

******

TBC

Thanks for reading
Dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo

****

Semesta yang lainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang