10. Pamer

3.1K 437 31
                                    

"Mamanya Mas Putra kasih mobil, Papi mau kasih apa??" Todongku.

"Bu Khairani ngasih mobil dalam rangka apa?"

"Gak tau Pi, iseng kali." Jawabku asal.

"Yaudah, nanti Papi pikir-pikir dulu mau kasih kamu apa."

"Aril mau mobil ya Pi??" Ucap Bang Aril tiba-tiba. Nyamber aja kaya petasan.

"Urus dulu kuliah, kalo lulus mobilnya ganti baru."

"Siap komandan!"

"Apaa?? Kamu udah tua, gak usah ikut-ikutan!" Sambar Papi ketika Bang Juna mau buka suara. Ngakak aku, kasian lah pokoknya Bang Juna.

"Yaa, tua kan juga tetep judulnya anak Papi."

Minggu ini, kami kumpul di rumah orangtuaku. Nengok sih lebih tepatnya karena hanya aku yang sudah gak tinggal sama Papi-Mami.

Bang Juna dan Kak Silvi, setelah menikah mereka memutuskan tinggal di sini. Supaya rumah kontrakan dari Papi tetap menghasilkan. Gitu katanya.

Kalau Bang Aril? Yaa tinggalnya tetep di sini, meskipun kadang keluyuran gak pulang.

"Eh iya pohon srikaya berbuah gak? Mas Putra pengin cobain!"

"Lhaa gak tau, cek aja sana sendiri." Seru Bang Aril.

Aku mengangguk, lalu mengajak Mas Putra ke halaman belakang rumah.

Di halaman belakang, aku kecewa ketika melihat pohon itu gak berbuah, buah yang kecil masih mentah pun gak ada. Sedih. Padahal aku semangat pengin Mas Putra cobain Srikaya.

"Gak berbuah Mas." Kataku sambil duduk di kursi yang ada.

"Yaudah gak apa, kan nanti kalo berbuah bisa diambil." Ucapnya sambil duduk di sampingku.

Aku mengangguk, tapi ya tetep aja yaa, aku udah ngarep jadi orang yang bakal petikin buah buat Mas Putra, ngasih icip dia, gitu-gitu laah.

"Eh iya Gin, aku boleh ngomong sesuatu?" Tanyanya.

"Iya Mas, ngomong apa?" Aku menoleh, menatap matanya.

"Aku gak enak kamu minta-minta ke Papi kaya tadi, ya itu hak kamu sih yaa, cuma kan kita udah nikah, aku jadi kaya ambil kesan kalau aku gak bisa penuhin kebutuhan kamu." Ucapnya lembut.

Aku diam sebentar, gak kepikiran gitu sama sekali. Karena dari dulu pun aku, bang Aril dan bang Juna ya pasti minta sesuatu ke Papi dan Mami.

"Apalagi kan gaji aku gak besar, kalo dibanding sama penghasilan kamu aja ya gedean penghasilan kamu, aku jadi gak enak."

"Ihhhh? Kenapa mikir gitu? Aku malah sama sekali gak kepikiran yang gitu, soalnya semua Abang aku juga gitu, Mas."

"Tapi kan kamu udah nikah sama aku, Gin. Tanggung jawab aku."

Aku tersenyum. Mas Putra benar sihh. Tapi, duh gimana jelasinnya?

"Bang Juna juga udah nikah, Mas. Udah punya penghasilan sendiri juga. Tapi, aku suka liat Bang Juna minta uang bensin sama Papi. Gimana ya? Aku sama Abang-abang dari kecil terbiasa diajarin buat minta ke orang tua, karena menurut Papi dan Mami, mereka mampu, dan aku dilarang keras minta ke orang lain. Aku nih yaa, waktu SD, dapet THR dua puluh ribu dari tante aja senengnya bukan maen. Karena gitu, gak pernah dapet dari orang."

Kulihat Mas Putra mengangguk. Semoga Mas Putra juga mengerti kalau apapun yang ia berikan, besar atau kecil, itu adalah hal yanh sangat berarti buatku.

"Oke, makasi yaa udah mau jelasin. Aku baru di keluarga ini, jadi aku harus banyak adaptasi. Tapi, aku pengin, kalau kamu mau apa-apa bilang aku aja. Bakalan aku usahain."

Semesta yang lainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang