Aku menyandarkan bahuku di sofa. Entah kenapa aku sangat malas masuk ke kamar. Kunyalakan televisi agar rumah ini tidak terlalu sepi.
Mengedarkan pandangan ke rumah ini, aku kadang bingung menyebut tempat ini rumah. Tinggal di sini tidak membuatku merasa di rumah. Memang, Mas Putra baik, dan lain sebagainya, ia membuatku nyaman. Tapi aku selalu merasa ada yang kurang.
Mungkin itu lah kekurangannya. Aku merasa kurang karena alam bawah sadarku tahu kalau kebaikan Mas Putra hanyalah sebuah keharusan, bukan apa yang berasal dari hatinya. Malam ini aku tahu alasan kekurangan yang kurasakan. Sudah dijelaskan sangat rinci oleh Bang Vino.
Hatinya Mas Putra sudah milik orang lain.
Aku menarik nafas panjang saat mendengar suara mobil di depan. Siap dengan segala pertanyaan dan jawaban. Siap juga mengutarakan langkahku.
Aku diam saat Mas Putra masuk ke rumah, ia menatapku bingung, tapi ia mendekat, duduk di single sofa di dekatku.
"Aku pengin nanya kamu kenapa, tapi liat tampang kamu, kayanya kamu lagi gak mau jelasin." Ucapnya pelan.
Aku tak menanggapi ucapannya tersebut, fokus pandanganku saat ini ke layar televisi.
"Aku laper, kamu tahu aku belum makan dari siang, aku bikin mie dulu yaa, abis itu baru kita ngobrol."
Serius??? Bikin mie?? Bukannya malah nanya??
Sekarang aja bilang laper, tapi tadi jemput cewek kaga ngeluh laper!!
Mas Putra beranjak dari sofanya, berjalan pelan menuju dapur. Aku mendengar suara kucuran air ke panci, lalu mendengar juga suara kompor yang dinyalakan.
Air mataku tiba-tiba jatuh. Aku langsung mengusapnya. Sudah sedari tadi kutahan, kenapa air mata ini keluar sekarang?? Kenapa aku nangis sih?? Ya tuhan, kehamilan ini dengan segela perubahan mood-nya bikin aku kewalahan juga akhirnya.
"Gin kamu kenapa??" Mas Putra datang, ia kini duduk di sebalahku.
Air mata yang tadinya jatuh sekarang sudah tumpah, dan membuatku terisak.
"Kenapa? Temen aku ada yang jahatin kamu? Siapa? Kenapa Gin??" Tanyanya panik.
Aku mendorongnya sedikit, agar ia tak menyentuh lenganku.
"Bang Vino cerita sama aku."
"Vino? Cerita apa dia?"
Aku menggeleng, masih terisak karena air mata yang terus mengalir tanpa alasan yang jelas.
"Udah sana, makan dulu aja, kan laper."
"Hemm, yaudah, bentar yaa!" Ia meninggalkanku, kembali ke dapur.
Aku kembali menangis, kali ini sambil memutar-mutar cincin nikah yang ada di jari manisku.
Menelan ludah, aku belum punya nyali untuk mengutarakan niatku pada mas Putra. Dan, aku juga gak ada nyali untuk jelasin ke keluargaku, terutama Mami.
God, kenapa hidup harus serumit ini?
Sekitar lima menit, mas Putra kembali, ia membawa segelas susu dan segelas teh hangat di kedua tangannya.
"Minum gih, ini angetnya pas, lumayan buat nenangin perut." Ucapnya lembut.
Aku menerima gelas susu yang ia ulurkan, tapi tak langsung meminumnya.
"Vino ada cerita apa sama kamu?"
"Banyak."
"Iya, banyak tuh apa? Aku kan gak tau."
Aku meliriknya kesal, sementara ia terlihat sabar, tapi masih tetap bingung.
"Soal perasaan kamu, ke Kak Kalya." Kataku langsung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta yang lain
ChickLitKalau ada yang ingin kuubah dari hidupku, adalah aku berharap bisa lebih cepat bertemu denganmu dan lekas mencintaimu banyak-banyak. itu saja.