Beberapa saat lalu hujan telah mereda. Setelah beberapa perdebatan kecil karena sahabatnya itu menawarkanya tumpangan yang di tolak mentah-mentah oleh Narae.
Kini ia berjalan di atas trotoar basah bekas guyuran air hujan. Rencananya ingin menikmati angin malam yang polusinya telah tersapu oleh hujan,malah berakhir kedinginan dengan mantel tipis yang membungkus tubuh mungilnya. Ia menyesal karena telah menolak tawaran Hyerim.
Di persimpangan jalan,irisnya tak sengaja menangkap siluet sang kakak. Lampu jalanan yang remang-remang membuatnya tak bisa melihat jelas wajah gadis yang berada sekitar 200 meter darinya. Namun ia tahu pasti, itu adalah kakaknya,Kang Narae.
Lampu merah menyala, kini ia segera berlari menyusul Narae yang semakin jauh dari pandangannya.
Joon Hyung berhenti sejenak, menetralisir nafasnya sebelum kembali memastikan bahwa yang ia lihat tidaklah salah.
Joon Hyung mendongak, matanya mencari-cari keberadaan Narae.
Sudah dipastikan bahwa itu benar kakaknya.
Narae mencoba menghangatkan tubuhnya, sambil sesekali celingak-celinguk menilik jalan raya di sebelahnya. Barangkali ada taksi yang lewat, namun nihil.
Ia terus berjalan, mempercepat langkahnya. Kedua tangannya tak henti-hentinya menggosok-gosok kedua lengannya, mencoba mempertahankan rasa hangat yang perlahan mulai merengkuhnya.
Bibirnya agak pucat, rambutnya melambai-lambai diterbangkan angin, kakinya sedikit gemetaran.
Joon berlari menghampiri sang kakak. Melepaskan jaket parasitnya dan memakaikannya di tubuh Narae tanpa aba-aba.
Si empu yang terkejut sontak mendongak ke samping, bersiap menyerang jika saja Joon Hyung tak menyelanya," Lain kali gunakan pakaian yang hangat. Kau pikir mantel tipis ini bisa melindungimu dari hujan badai?"
"YA! Mana ku tahu jika akan hujan lebat malam ini." Elak Narae membela diri.
"Bukannya eomma sudah memperingatkanmu untuk tidak berlarian dijalan?"
"Bagaimana kau tahu aku tadi berlari? Noona bahkan terkejut saat aku memakaikan ini padamu." Ujarnya sambil memegang kerah jaketnya yang kini berpindah tangan ke tubuh kakaknya.
"Ah itu..."
"Jangan banyak alasan. Noona mau pulang atau membeku dan mati kedinginan di sini?" Tanyanya ketus.
"Kenapa kau jadi mengomeliku."
"Aku hanya mengkhawatirkanmu."
Deg
'Khawatir? Dia mengkhawatirkanku?'
"YA! Noona demam? Wajah Noona merah!"
"A-ayo pulang! Eomma pasti sudah menunggu." Ujar Narae. Ia berjalan cepat meninggalkan Joon Hyung yang masih terdiam, bertanya-tanya.
"Kenapa dia?" Tanya Joon Hyung pada dirinya sendiri.
~~~
"Bagaimana hubunganmu dengan Hyerim?" Celetuk Narae, mencoba mengusir jauh-jauh kecanggungan yang menyelimuti keduanya. Entah sejak kapan hubungan kakak adik serasa hubungan wanita dan pria yang baru saja berkencan.
"Aku tahu,Hyerim pasti sudah menceritakannya terlebih dahulu padamu. Secara terperinci." Jawab Joon Hyung penuh penekanan.
"Kau..kau kan laki-laki! Seharusnya kau lebih memikirkan perasaannya!" Seru Narae.
Joon Hyung menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Narae dan berujar dingin,"Dari awal aku tidak pernah mencintainya."
Ucapannya barusan menghentikan detak jantung Narae. Perih seketika merambah ke ulu hatinya.
"YA! Apa-apaan kau ini! Pikirkan bagaimana perasaan Hyerim jika mendengar pernyataanmu tadi!"
"Aku selalu memikirkan perasaan orang lain! Mereka.. Hanya saja mereka tidak pernah sekalipun memikirkan perasaanku." Seru Joon Hyung sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Narae.
Ucapannya barusan menyentil hati kecil Narae. Ia tersentak. Seolah-olah dialah penyebab dari perubahan sikap pria di depannya kini.
Narae mencoba mengusir jauh-jauh perih yang kini mengganjal di hatinya. Menghembuskan nafas pelan dan berlari mengejar Joon Hyung.
"YA! YAAA!" Teriak Narae seraya berlari.
Joon Hyung tak terkecoh. Ia tetap melanjutkan jalannya.
Narae terus berlari. Kini kakinya mulai kebas, mati rasa.
Tak di sadari kini Joon Hyung berhenti dan berbalik badan. Tubuh kecilnya agak terpental saat bertubrukan dengan dada bidang Joon Hyung. Narae oleng.
Namun dengan cepat,ia mengembalikan tubuhnya ke posisi semula,tegak, namun agak mendongak.
Terlihat wajah datar Joon Hyung lebih angkuh dari bawah sini."YA! Joon Hyung-ah! Ini peringatan terakhirmu! Jaga Hyerim dengan baik atau aku akan menghabisi mu!" Ujar Narae dengan nafas tersengal.
Kini ia kembali berjalan. Meninggalkan Joon Hyung yang masih diam di tempat. Diam seribu bahasa.
Narae Berjalan santai sambil bersiul-siul lembut sembari mengingat beberapa nada lagu yang kemarin ia dengarkan sambil membaca novel romansa kesukaannya.
Sesekali ia menghirup udara di sekitarnya, menikmati angin sepoi yang sebenarnya membuat bibirnya memucat.
Tangannya yang semula berteduh dibalik saku jaket parasitnya, ah jaket milik Joon Hyung,kini keluar tanpa seizinnya, ditarik paksa.
Narae terkejut setengah mati. Matanya membelalak. Bukan hanya karena tarikan dadakan yang dilakukan Joon Hyung, melainkan karena kecupan singkat yang diberikan pada bibir pucatnya.
Joon Hyung melepaskan kecupan tersebut, membuat Narae dapat bernafas lega.
Namun lagi-lagi ia dibuat bungkam.
Ia mendelik. Mendapati Joon lagi-lagi mengecupnya. Lebih dalam dari sebelumnya."Jangan memaksaku mencintai orang lain jika kau tahu siapa orang yang kucintai." Ujarnya pelan, lebih seperti berbisik.
Narae melongo, mencoba menyerap perkataan adiknya barusan.
Sungguh, meskipun dia bukanlah orang yang pintar, tapi jika dihadapkan dengan tuturan sederhana seperti ini,ia pasti langsung mengerti. Entah kenapa otaknya kini tak mampu merespon dengan baik.
Ia melanjutkan langkahnya, sambil sesekali menepuk pelan kepalanya. Barangkali korslet yang di hadapi akan segera sembuh.
Tapi sungguh,ia benar-benar akan menampar keras pipi Joon Hyung tadi jika tidak disela oleh ujaran membingungkan yang ia ucapkan beberapa saat lalu.
Otaknya tak bisa berpikir jernih. Berusaha mengorek ucapan Joon Hyung, namun lagi-lagi diserang oleh pikiran buruknya mengenai kecupan lembut si empu. Dua kecupan dalam sekali serangan.
Wah, anak itu benar-benar!
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother=Boyfriend
Novela JuvenilRomansa kakak beradik yang saling mencintai. Dilema antara cinta, keluarga, dan persahabatan. Akankah mereka mengorbankan segalanya demi cinta mereka? Ataukah menggugurkan cinta mereka demi orang-orang tersayang?