Disinilah mereka berakhir, sebuah kedai barbeque kaki lima yang berdiri kokoh di sisi jalan kota Seoul. Malam ini seisi kota diguyur hujan deras. Meski demikian, jalan raya tak kunjung sepi, tetap dipadati dengan kendaraan bermotor yang saling berlomba menyuarakan klaksonnya.
Beberapa saat lalu terjadi kecelakaan lalu lintas, sehingga memperburuk kemacetan. Belum lagi ditambah pejalan kaki yang beramai-ramai menilik apa yang sedang terjadi di tengah hujan deras begini. Tak menghiraukan klakson yang sedari tadi dibunyikan untuk mereka.
Memotret dan mengabadikan momen langka seperti itu, seolah penderitaan mereka bukan apa-apa. Bercakap ria sembari menunjukkan hasil tangkapan gambar masing-masing. Sambil berjalan menepi, melanjutkan ke arah tujuan masing-masing.
~~'
Narae dan Hyerim menyantap daging-daging panas mengepul yang menghangatkan tubuh ditengah-tengah hujan deras dan hawa dingin yang menusuk melalui sela-sela pintu plastik tersebut. Sesekali mereka cekikikan melihat tingkah lucu masing-masing yang kepanasan melahap sesuap daging utuh.
Sambil mengunyah daging panggang tersebut dengan penuh khidmat,Hyerim mengingat pertanyaan yang sejak dulu terbesit dipikirannya, namun selalu lupa untuk menanyakannya.
"Narae?"
"Wae?"
"Sejak dulu aku bertanya-tanya, kenapa kau suka sekali dengan buldak di toko seberang sana itu?"
Tanya Hyerim sambil menunjuk ke arah toko seberang yang terlihat gelap, sepertinya sudah tutup." Padahal rasanya biasa-biasa saja. Aku lebih suka buldak di restoran ayahnya Hyo Joo, teman SMP kita dulu." Tuturnya lagi.
Dengan mulut penuh daging,Narae menjawab,"Ah, itu. Jadi, toko itu adalah toko buldak pertama yang aku kunjungi setelah pindah ke Seoul. Nenekku menyukainya karena dagingnya lebih empuk dari kebanyakan buldak, itulah mengapa aku sering mampir. Ternyata seleranya menular pada cucunya, Joon Hyung." Jelas Narae.
"Begitukah? Kurasa masih ada alasan lain?" Tanya Hyerim, masih meragukan jawaban yang diucapkan sahabatnya satu ini. Mengingat,ia tidak akan menjawab secara gamblang sebelum dipancing terlebih dahulu. Anehnya,ia selalu saja terpancing dengan ucapan Hyerim. Entahlah.
"Dulu ada seorang anak laki-laki, mungkin sebaya dengan kita. Entahlah. Tapi seingatku dulu aku sering memanggilnya dengan sebutan oppa."
Hyerim berjengit, menatap tak percaya, lalu menutup mulutnya. Seketika tawa renyahnya keluar tanpa tertinggal seonggok pun.
Aneh.
Apa ada yang salah dengan ucapan Narae?
Hyerim masih terus tertawa,Narae hanya mengerjap-ngerjap heran. Tanpa sadar, banyak pasang mata yang mulai memperhatikan keduanya. Entah apa yang merasuki Hyerim sehingga tawa tersebut tak kunjung berhenti,malah semakin kencang.
Narae tak mau ambil pusing. Ia mengabaikan tatapan yang bertanya-tanya pada keduanya dan terus menikmati beberapa potong daging yang masih tersisa. Sesekali ia memadu padankan potongan-potongan kecil tersebut dengan sehelai daun selada segar dan secuil sambal yang menciptakan perpaduan sempurna. Meski perlu membuka lebar-lebar mulut kecilnya, namun sepadan dengan kenikmatan yang ia terima.
Tawa tersebut redam setelah beberapa saat. Si empu mulai melanjutkan sesi tanya jawabnya yang baru saja terjeda.
"YA! Sejak kapan kau mengutarakan kata'oppa' dari bibir sucimu itu?" Tanya Hyerim sambil diiringi kekehan kecil di beberapa kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother=Boyfriend
Fiksi RemajaRomansa kakak beradik yang saling mencintai. Dilema antara cinta, keluarga, dan persahabatan. Akankah mereka mengorbankan segalanya demi cinta mereka? Ataukah menggugurkan cinta mereka demi orang-orang tersayang?