Rain (9)

188 22 0
                                    

“Memang apa yang akan terjadi saat turun hujan Hoon-ie?”
Rhae Hoon meletakkan tas tangannya lagi saat Ji Sun menginterogasinya, oh bagus sekali. Ini sudah hampir jam delapan dan Ji Sun kini memberondongnya dengan sebuah pertanyaan yang ia tak tahu jawabannya. Gadis itu mengenakan sepatu setinggi tujuh sentinya lalu beranjak, menyambar tas berwarna hitam yang tadi dicampakannya seraya menatap Ji Sun dengan sedikit rasa pusing yang mengitari kepalanya karena sejak semalam ia lebih banyak terjaga daripada terlelap. Bayangan demi bayangan itu mengacaukan otaknya, senyum Kyu Hyun lebih mendominasi meski wajah manis Sungmin juga sering muncul.

“Aku juga tak tahu apa yang terjadi, firasatku bilang aku akan menemukan cinta sejatiku saat itu. Yah, hanya jawaban itu yang muncul dikepalaku saat ini.”

“Baiklah.” Ji Sun meraih bahu sahabatnya itu, menguatkan hati Rhae Hoon. Ia tahu tidak akan mudah bagi gadis berwajah innocent itu untuk memilih, percayalah… pilihan tersulit dalam hidup adalah ketika kau berada di persimpangan jalan dan tak tahu arah mana yang lebih baik untuk ditelusuri.

“Aku mendukung semua keputusanmu nantinya, baik Kyu Hyun ataupun Sungmin Oppa mereka berdua sama-sama berkompeten membuatmu bahagia. Ah, siapa yang akan menjemputmu? Titisan iblis itu atau Pangeran Kelinci?”

“Aku mau naik bis saja, aku tak mengizinkan kedua pria itu menjemputku hari ini.” Rhae Hoon tersenyum kecil lalu beranjak meninggalkan Ji Sun. Ia melambaikan tangan sebelum menghilang dibalik pintu. Gadis itu menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi rongga dadanya yang seakan menyempit, bersenandung sembari menendang-nendang rontokan daun yang menyemak di kakinya. Berkamuflase, menyembunyikan kegalauan hatinya dengan bernyanyi meski ia sadar suara cemprengnya sangat tidak layak untuk di dengar, berbeda dengan suara merdu kala Kyu Hyun bernyanyi semalam. Ngomong-ngomong tentang Kyu Hyun, pria itu tengah bersembunyi di balik mobil birunya, memperhatikan setiap gerak-gerik Rhae Hoon di halte kusam itu. Ia menghidupkan mesin mobilnya tatkala gadis itu melompat masuk ke dalam bis. Ah, ia hampir lupa jika pagi ini adalah hari Senin dan  sudah waktunya untuk bekerja bergelut dengan bangunan yang sebentar lagi akan selesai.

-XXX-

Seorang gadis menelungkupkan wajah di meja kerjanya bersama serakan kertas yang belum ia bereskan, gadis itu – Shin Rhae Hoon – terlihat menatap jendela yang berjarak beberapa jengkal dari tempatnya duduk.

“Hyo Sun-ah, menurutmu hari ini akan turun hujan tidak?” tanya Rhae Hoon konyol, sudah pukul tiga sore dan ia sudah mematikan layar komputernya. Mood bekerja gadis itu menguap entah kemana sejak bertemu dengan Kyu Hyun sejam lalu saat ia berpapasan dengan pria itu di lobi.

“Mana aku tahu? Kau ini ada-ada saja, memangnya aku peramal,” gumam Hyo Sun acuh, gadis itu tengah serius dengan gadget-nya.

“Padahal aku sangat berharap hujan turun,” lirih Rhae Hoon hampir tak terdengar. Lamat-lamat pandangannya beralih pada lobi, Kyu Hyun yang memakai jas berwarna cokelat itu terlihat buru-buru meninggalkan tempat itu. Mau kemana dia? Apa mungkin dia akan menemui Jung Hyo Hee? Mengapa Rhae Hoon tidak rela jika hal itu memang benar terjadi?

“Apa yang kau lihat?”

“Tidak ada.” Buru-buru Rhae Hoon menurunkan pandangannya, sebentar kemudian menatap jendela, lagi. Hari ini sangat cerah, tidak ada tanda-tanda angin kencang ataupun langit berawan kelabu.

Hingga dua jam berlalu, namun Rhae Hoon masih terduduk lesu di ruangannya. Semua orang sudah beranjak sejak sejam lalu, namun gadis itu masih asyik menatap langit dari balik jendela sambil menyesap teh panas. Sepertinya Tuhan tengah berbaik hati padanya saat ini, lihat saja senyumnya mengembang tatkala apa yang ia nantikan sejak pagi menjadi kenyataan. Tanpa pikir panjang lagi ia melepas sepatu  dan berlari bak anak berusia tujuh tahun menyambut langit yang mulai menjatuhkan buliran kristal bening nan sejuk itu. Ia memejamkan mata saat tetesan hujan mulai menusuk pori-pori kulitnya, ia selalu merasa damai dan terlindungi saat hujan turun, entah apa penyebabnya.
Hal yang tidak bisa ia sampaikan pada Kyu Hyun adalah keinginannya untuk menentukan tambatan hatinya saat hujan turun, jika selama ini ia selalu berakhir di pelukan Sungmin saat ia berdiri di tengah hujan, maka kali ini ia berharap Kyu Hyun akan mengerti apa yang ia ucapkan kemarin, gadis itu yakin seseorang akan datang padanya sebentar lagi, entah itu Kyu Hyun atau Lee Sungmin.

“Kyu Hyun-ah, hujan benar-benar turun hari ini. Datanglah, karena jika kau datang maka aku takkan segan untuk memelukmu dan aku berjanji takkan melepasmu,” gumam gadis itu pelan seraya mendongakkan kepalanya ke atas. Ia sudah tak peduli apapun yang akan terjadi, yang ada di kepalanya adalah pria yang akan datang saat ia berdiri di tengah hujan seperti ini adalah takdir yang sudah Tuhan siapkan untuknya, apakah pria itu Cho Kyu Hyun? Atau mungkin Lee Sungmin yang selama ini selalu merawat tubuh lemahnya saat efek hujan-hujanan membuat gadis itu terkena gejala flu?

-XXX-

Pria berjas cokelat itu terlihat resah dalam pertemuan yang tengah ia hadiri, ekor matanya tak berhenti menatap keluar. Rinai hujan membuat ia berkeringat karena mengingat Rhae Hoon, ah sialan! Kyu Hyun mengumpat dalam hati, hujan turun di saat yang kurang tepat. Jika bukan karena Tuan Kim ia takkan mau menghabiskan waktu bersama orang-orang yang tak ia kenali. Pria berkulit putih tanpa cela itu meneguk minumannya dalam diam, ingin sekali ia segera enyah dari sana.

‘’Aku menunggumu Kyu, menunggumu kembali dan mengajakku pergi karena akan turun hujan, tapi sepertinya aku salah. Saat titik hujan makin menusuk pori-poripun kau tak kunjung datang.’’

“Menunggumu? Aku memang menunggumu datang Hyun-ie. Setiap hujan datang aku akan berdiri di tengah jalan untuk menantimu datang dengan membawa payung untukku, tapi kau tak pernah kembali, sekalipun tak pernah.”

Jika hujan turun dan membasahi bumi, aku harap saat itu kita bisa menemukan jawabannya.”

Suara-suara itu? Damn! Kyu Hyun menjatuhkan cangkir berwarna krem itu sehingga menimbulkan bunyi gaduh, namun bukannya meminta maaf karena sudah menyebabkan kekacauan pria itu malah berlari sejauh mungkin ke pelataran parkir, menghidupkan mesin mobilnya cepat-cepat saat kilasan kalimat demi kalimat gadis itu kembali membayang di kepalanya. Bodoh, kenapa aku baru mengerti apa maksud perkataan gadis itu? Kyu Hyun tak hentinya mengumpat dalam hati. Ia meyakini  gadis itu tengah menantinya, seperti setiap saat saat gadis itu merindukan Kyu Hyun dengan bibir pucat karena menggigil. Ah, kenapa teka-teki semudah ini tak bisa dengan mudah ia pecahkan?

Kyu Hyun memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, masa bodoh dengan jalanan licin dan suara klakson yang memekakkan telinga. Ia tak boleh terlambat lagi, tidak boleh atau ia takkan memiliki kesempatan untuk memeluk gadis yang ia cintai.

-XXX-

Sudah lebih dari tiga puluh menit dan hujan masih menusuk kulit gadis yang dengan bodohnya terus menunduk itu. Rhae Hoon hampir putus asa dalam penantiannya, ia sedikit merasa menjadi abnormal karena menunggu pria yang ditakdirkan dengannya hanya lewat hujan. Ia hampir berbalik saat sebuah tangan merayap di bahunya, ia mendongak ke atas dan menemukan sebuah payung putih menaungi kepalanya. Gadis itu tersenyum, pria itu sudah datang. Rhae Hoon segera berbalik dan mendapati senyum yang begitu familiar, senyum yang akan selalu ia temukan saat tubuhnya lemah karena berdiri terlalu lama dengan baju yang basah.

“Gadis bodoh, kenapa masih hujan-hujanan? Usiamu itu sudah menjelang dua puluh empat tahun,” ejek Sungmin, yah… pria yang kini memayunginya adalah sang pangeran kelinci, bukan Kyu Hyun si Malaikat Penurun Hujan. Gadis itu tersenyum kaku, bagaimanapun ini adalah jawabannya, ia tak bisa memungkiri ucapannya tentang memeluk pria yang akan datang pertama kali, meskipun pria itu bukanlah Kyu Hyun. Ataukah mungkin memang garis hidup membuat ia harus berjodoh dengan Lee Sungmin?
Rhae Hoon masih menatap sendu pada Sungmin saat pria itu membenamkan tubuh gadis itu dalam pelukannya seraya membisikkan kata cinta yang memabukkan. Gadis itu limbung, ia tak bisa memperkirakan seberapa banyak kekecewaan itu. Nyatanya orang yang datang padanya kala hujan mengguyur adalah Sungmin meski hatinya memanggil nama Kyu Hyun, sebuah fakta yang membuat ia merasa sungguh dipermainkan oleh takdir.
Seseorang menjatuhkan payung hitam di samping mobil birunya yang basah. Orang  itu, Cho Kyu Hyun mengepalkan tangannya kuat-kuat melihat dua manusia yang tengah saling memeluk beberapa meter dari hadapannya, ia menggeleng pelan. Ternyata rasanya sesakit ini, hatinya hancur, memar dan tak berbentuk lagi. “Aku terlambat, lagi,” gumamnya pelan.

‘’Aku menunggumu Kyu, menunggumu kembali dan mengajakku pergi karena akan turun hujan, tapi sepertinya aku salah. Saat titik hujan makin menusuk pori-poripun kau tak kunjung datang.’’

“Jika hujan turun dan membasahi bumi, aku harap saat itu kita bisa menemukan jawabannya.”
Kalimat-kalimat  itu membayang lagi di benaknya,  seperti racun yang siap menewaskan raganya kapan saja bersama  suara hujan yang menyakiti pendengarannya, seperti senandung lagu kematian yang akan mengantarkannya untuk merayakan kekalahan  dalam pertempuran hati ini, di mana ia keluar sebagai pecundangnya.

Stop Walking By✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang