1.14 Selamat Datang di Kota Rantau

14 2 0
                                    

Tepukan Doni pada pundak kananku membawaku kembali terjaga setelah tertidur pulas usai menikmati pemandangan garis pantai sepanjang jalan sebelumnya. Aku mengucek mata sambil menguap, kantukku belum lepas sempurna.

“Sebentar lagi kita sampai,” ucap Doni lalu berdiri dan mengambil ransel pada kabin di atas kursi kami.

Aku mengangguk lalu mengikuti pergerakannya.

“Nanti, kalau sudah sampai di sana, barangmu ini,” ucapnya menunjuk koperku, “bawa sendiri, ya.”

Aku mengernyit. Tentu saja akan kubawa sendiri barang-barangku. Meski masih mengantuk, kekuatanku tidak akan terkuras hanya karena menyeret koper.

“Pak, di Jalan Tepian, ya,” teriak Doni pada kernet yang berdiri dekat pintu bus.

Sang kernet menaikkan jempol dan mengangguk.

Laju bus mulai melambat saat Doni mulai melangkah mendekati pintu bus, aku mengekor di belakangnya.

Iyyap … berhenti di sini, Pak.” Doni melangkah setelah pintu bus dibuka oleh Kernet. “Terima kasih, Pak,” ucapnya.

Aku mengulas senyum untuk kernet lalu ikut melangkah turun dari bus.

Yuhuu … Doni my bro is back.” Seorang anak yang kuperkirakan baru saja masuk SMP menyambut kami.

Doni mengacak rambut anak tersebut dan melangkah memasuki pekarangan rumah.

“Hai, Kak, pasti temannya Kak Doni, kan? Sini saya bantu bawa kopernya,” ucap si Anak lalu mengambil alih koperku. “Tidak akan saya bawa kabur, saya ini anaknya Bu Kos.”

“Terima kasih,” ucapku lalu membiarkannya membawa barangku.

Aku terus melangkah mengikuti Doni hingga berhenti di depan sebuah kamar.

Doni mengetuk pintu lalu berbalik menatapku sambil mengembuskan  napas. “Kan sudah gue bilang, bawa sendiri kopernya,” ucapnya lalu mengetuk pintu.

“Dia sendiri, kok, yang mau membantu,” belaku.

“Terserah sih.” Doni masuk setelah pintu kamar dibuka.

Aku berdiri di depan pintu, menunggu anak Ibu Kos yang membawa koperku. Aku harus mengucapkan terima kasih atas bantuannya.

“Ini, Kak, barangnya,” ucap si Anak saat berdiri tepat di depanku. “Ongkosnya sepuluh ribu,” lanjutnya.

“Eh, pakai ongkos?” Dahiku mengkerut menatap si Anak.

Gelak tawa dari dalam kamar terdengar. Aku menoleh dan mendapati Doni dan teman sekamarnya sedang terbahak.

Aku menarik napas lalu membuka dompet, memberi uang pecahan sepuluh ribuan untuk anak itu lalu masuk dan menutup pintu kamar. Aku menatap dua orang penghuni kamar itu jengkel.

“Selamat datang di Kota Rantau, teman,” kompak mereka lalu melanjutkan tawa.

Diary Anak RantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang