1.7 Tentang Dua Bersaudara

19 1 0
                                    

Kami disambut dengan udara dingin saat memasuki wilayah Kota B. Entah karena cuacanya memang seperti ini setiap hari atau hanya kebetulan mendung saat kami sampai. Aku enggan menanyakan hal ini pada Doni yang mulai merapikan jaket dan tas bawaannya.

“Di belakang kantor pos ya, Pak,” ucap Doni lalu mengarahkanku untuk bersiap turun dari mobil.

Kali ini pengalaman pertamaku menginjakkan kaki di Kota B. Suasana sepi saat kami turun dari mobil, mungkin karena kami tiba di waktu petang. Aku menunggu Doni yang sedang menunggu uang kembalian dari sopir. Setelah selesai, Doni menuntunku ke arah gerbang yang tertutup tepat di depan mobil yang kami tumpangi tadi. Dengan cekatan, Doni meraba bagian dalam gerbang lalu membuka kunci, menggesernya lebih lebar lalu menyuruhku masuk lebih dulu.

“Terus jalan sampai ke belakang tangga,” perintahnya lalu menutup gerbang dan menguncinya kembali.

Aku menyeret koper mengikuti jalan setapak yang berbelok di belakang tangga. Halaman rumah yang kami singgahi sangat luas. Bentuknya sedikit unik, rumah berlantai dua dengan tangga yang terletak di bagian samping rumah. Jika dilihat dari banyaknya pintu yang ada, ku tebak jika rumah ini semacam kos-kosan.

“Stop di sana.” Suara Doni dari belakang membuatku menghentikan langkah tepat di depan sebuah pintu di bawah tangga menuju lantai dua.

Doni berjalan lebih cepat, seolah koper yang dibawanya hanyalah kantong kresek biasa yang berisi makanan ringan. Doni mengetuk pelan pintu sambil menguap. Sepertinya dia tetap merasa lelah dengan perjalanan panjang ini meski sering melakukannya beberapa tahun terakhir.

Pintu terbuka, menampilkan seorang lelaki yang seumuran kami dengan senyum ramah.

“Hei, ayo masuk, pas sekali makanan sudah siap,” sambutnya lalu mengambil alih koperku dan membawanya ke sudut ruangan, “Maaf, berantakan,” lanjutnya.

Doni langsung merebahkan badannya pada kasur yang ada dekat pintu masuk. Sedang aku membuka ransel mengambil peralatan mandi.

“Kamar mandinya lurus saja ke belakang. Bersih, kok.” Lelaki tadi menebar senyum.

“Terima kasih,” ucapku lalu berjalan ke belakang, sudah tidak sabar untuk menyegarkan diri.

Selesai mandi, ku dapati Doni yang sudah duduk bersila di depan baki yang diisi dengan lauk ikan goreng, mie instan dan telur dadar. Makanan sederhana ala anak rantau.

“Ayo, makan. Hilman ke pasar manggil adeknya, Hilmi. Mereka itu sepupu gue, Hilman, yang tadi itu lebih tua dari gue beberapa bulan, kerja di perusahaan sini. Adeknya juga, tapi akhir pekan sering bantu-bantu ibu kosnya yang jualan di pasar. Mereka berdua itu pekerja keras. Kehidupan mereka di sini, ya, nampak biasa saja. Tapi berkat kerja keras mereka berdua, adek-adeknya yang banyak di kampung bisa sekolah.” Doni menjelaskan tanpa ku minta.

“Hilmi itu cewek?”

Doni menghentikan kegiatan makannya, menatapku malas lalu berkata, “Dari panjangnya hal yang gue jelasin, lo fokus cuma sama cewek. Tega lo.”

Aku tertawa bodoh, “Nggak enak aja, gue mikir tidurnya nanti  gimana kalau ada cewek?”

“Ya, telentang lah.” Doni menjawab sembarang, ciri khasnya.

Aku mulai menyendok nasi dan menyantap makanan yang disajikan.
Selesai makan, ku bantu Doni membereskan baki dan mencuci piring bekas makan kami. Dunia rantau sepertinya telah mengubah temanku ini menjadi manusia yang mandiri. Dia melakukan semuanya dengan telaten seolah telah dilatih dengan baik.

Pintu depan terbuka, menampilkan Hilman dan Hilmi—yang kusyukuri ternyata seorang cowok, membawa satu kantong yang nampak berminyak.

“Wah, makanan.” Doni langsung menghampiri Hilmi dan merebut kantongannya. Aku menyesal telah memujinya tadi.

“Selamat datang di Kota B, Kak. Maafkan kelakuan sepupu saya.” Hilmi duduk di samping Doni yang sibuk memindahkan gorengan ke piring yang baru saja diberikan Hilman.

“Harusnya saya yang minta maaf sudah merepotkan,” ucapku sungkan melirik Doni yang sudah mulai menyantap tahu isi tanpa dipersilakan.

Diary Anak RantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang