1.12 Batas

15 1 0
                                    

Ubun-ubunku rasanya terbakar karena terkena cahaya matahari secara langsung. Kulihat semua penumpang mobil yang duduk jongkok sepertiku juga menampakkan ekspresi tersiksa.

Nasib kurang beruntung benar-benar bersama kami. Setelah hujan yang katanya mengguyur tiga hari terakhir hingga membuat jalanan berlumpur, hari ini justru cerah bahkan tanpa awan satu pun.

Laju mobil terasa melambat pada area yang masih dipenuhi dengan pepohonan rimbun. Saat mobil berhenti sempurna, para penumpang kompak melompat turun lalu meregangkan badan di samping mobil. Perjalanan yang benar-benar melelahkan.

Aku memilih duduk meluruskan kaki setelah melemaskan otot-otot tubuh, hanya beralas daun pisang kering yang kutemukan.  Aku mengedarkan pandangan, ada satu warung yang beratap daun rumbia dengan dinding dari anyaman, benar-benar khas daerah terpencil.

Doni turut duduk di sampingku dan memberi sebotol air mineral.

“Memang selalu seperti ini prosesnya?” tanyaku sambil melihat para sopir dan kernet memindahkan barang bawaan kami ke dalam bagasi bus.

“Hanya saat jalanan terlalu berlumpur dan banyak kubangan,” jawabnya setelah meneguk setengah botol dari air mineralnya.

“Beginilah, Dek, keadaan perbatasan. Serba nanggung.” Seorang Bapak ikut duduk dan bergabung dengan kami. “Apalagi kalau kondisinya kurang terjamah seperti ini,” lanjutnya.

Aku dan Doni kompak mengangguk.

“Saya pernah tinggal di perbatasan negara, keadaannya malah jauh lebih memprihatinkan. Daerah batas yang harusnya jadi wajah negara kita malah tidak terurus. Miris, Dek.” Bapak itu terus mengeluarkan pendapatnya.

Aku menanggapi dengan senyum, dalam hati turut membenarkan perkataan beliau.

“Nah, kalian sebagai anak muda juga jangan jadi pemalas, harus sukses dan berguna. Siapa tahu kelak bisa membantu negara untuk mengurus semua ini,” pesan si Bapak.

Aku menarik napas dalam-dalam lalu melihat Doni yang juga menatapku. Pikiran kami seakan berada pada satu frekuensi.
“Boro-boro, Pak. Tidak menjadi beban orang tua saja sudah menjadi prestasi tertinggi yang bisa kami banggakan.

Aku menahan gelak melihat ekspresi Doni. Sedang dia pura-pura batuk untuk menyamarkan ledakan tawanya.

Diary Anak RantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang