1.8 Emesis

27 2 0
                                    

Aku masih menggigil di pembaringan saat sayup-sayup kudengar suara piring yang saling beradu. Mataku masih terasa berat saat kubuka paksa hanya untuk sekadar melihat jam pada ponselku. Pukul 04.20, aku melenguh pelan, merenggangkan setiap ototku lalu bangkit dari tidur. Tidak biasanya aku bangun sebelum subuh. Ku dapati dua bantal di samping kananku sudah kosong, sedang di sebelah kiriku masih ada Doni yang mengigau tidak jelas.

Aku beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Ada Hilman dan adiknya yang sedang sibuk memasak.

“Eh, kami membangunkanmu?” Hilman sedikit terkejut mendapatiku berdiri di pintu dapur.

Aku menggeleng dan memberi senyum, lalu meneruskan langkah ke kamar mandi. Mataku membulat saat air menyentuh kulitku. Seketika seluruh badanku merinding dibuatnya. Aku mengambil napas dalam saat membasuh wajah, rasa dingin begitu menusuk seolah menyulitkanku untuk bernapas.

Aku berjalan keluar kamar mandi sambil terus mengusap kedua lenganku, sekadar mencipta rasa hangat.

Hilmi tertawa kecil melihatku, “Cuaca di sini memang sejuk cenderung dingin, Kak,” komentarnya.

“Siang juga?”

Hilmi mengangguk lalu meneruskan mengaduk sesuatu yang dimasaknya.

“Kalian selalu mulai kegiatan sepagi ini?”

“Kebiasaan, Kak. Sebenarnya hari ini cuma Kak Hilman yang masuk kerja, tapi rasanya sudah terbiasa kalau masaknya jam segini.”

“Ooo…” Aku mengangguk mengerti.

“Ini, saya bikinkan teh hangat, lumayan untuk mengurangi rasa dingin.”

“Wah, terima kasih.” Aku menerima gelas yang diberikan Hilmi.

Saat kami sedang duduk menikmati teh hangat, Hilman sedang sibuk menyiapkan tas dan keperluan yang akan dibawanya untuk bekerja. Aku mengamati setiap kegiatannya.

Waktu rasanya berjalan begitu cepat pagi ini. Saat aku masih menikmati teh hangat buatan Hilmi, Hilman sudah lengkap dengan seragamnya untuk berangkat kerja, dia pamit pada kami lalu berjalan ke luar rumah. Doni yang sudah bangun sejak tadi mengajakku mengikuti Hilman, katanya mau menunjukkan mobil-mobil perusahaan dan pekerja lainnya.

Hanya beberapa langkah dari gerbang rumah, tempat yang kemarin kupikir adalah lapangan, ternyata merupakan area parkir mobil-mobil perusahaan. Ada minibus tapi ada juga mobil double kabin.

“Yang minibus itu untuk karyawan biasa. Kalau yang double kabin isinya orang penting.” Doni menjelaskan dengan wajah kusut karena belum dibasuh.

“Kalau bendera-bendera yang depan mobil itu maksudnya apa?”

“Nah, kalau itu …” Doni menjeda lalu menatapku dengan cengiran khasnya, “Nggak tau lah. Gue bukan pekerja sini,” lanjutnya lalu tertawa puas.

“Ck, dasar kau ini.” Aku melangkah kembali ke rumah. Angin pagi ini membuatku akan menggigil jika tinggal di luar lebih lama lagi. Rasa mual tiba-tiba menggangguku tepat saat masuk rumah.

Aku berlari ke kamar mandi secepat yang kubisa. Tepat saat melangkah masuk, kumuntahkah semua teh yang sudah kuminum pagi tadi. Sial, kepalaku seketika pening dan pandanganku terasa berputar. Aku melangkah keluar kamar mandi dengan gerakan yang tidak seimbang.

“Kak?” Aku tahu itu suara Hilmi, tapi kepalaku terasa berat untuk sekadar menoleh padanya.

Tubuhku terasa sedikit ringan saat Hilmi menuntunku untuk berbaring. Aku menurut, Hilmi memberiku minyak kayu putih untuk kuhirup demi mengurangi rasa mual.

“Masuk angin?” Aku tidak tahu kapan Doni duduk di sampingku.

“Mungkin,” jawabku lemah.

Doni menatapku yang sedang terbaring lemah dengan khawatir. Dia mengambil ponsel lalu berjalan ke arah luar. Tidak berapa lama dia datang kembali lalu berkata, “Kita berangkat besok saja,” ucapnya lalu melumeri tubuhku dengan minyak kayu putih pemberian Hilmi.

“Gue lupa kalau orang kurus nggak boleh kena banyak angin, kawan.” Saat memanggilku kawan, sisi humor Doni pasti sedang beraksi.

Tenagaku hampir lenyap, tapi aku ingin sekali memukulnya. Sungguh.

Diary Anak RantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang