Bagian 4. Bos Lulusan Luar Negeri

11 0 0
                                    

Tempat kerja yang ditawarkan Doni padaku adalah sebuah percetakan yang menerima pesanan mulai dari cetak undangan hingga sablonan baju. Tugas utamaku sebagai karyawan baru yang menggantikan Rio adalah berjaga pada toko depan yang memajang berbagai macam perlengakapan alat tulis dan mencatat administrasi orderan cetak dan sablon baju.

Sepanjang hari aku mengamati tata cara kerja Rio yang akan segera kugantikan. Sesekali dia menjelaskan beberapa hal yang sedang dia kerjakan. Kadang dia juga memintaku untuk bertanya jika ada yang kurang kupahami.

"Kadang, kalau orderan sedang banyak, kamu bisa ikut bantu tim percetakan di dalam kalau toko depan sudah tutup." Rio menjelaskan setelah meneguk habis minumannya. "Tenang, ada upahnya, kok," lanjutnya dengan menaikturunkan alis.

Aku hanya mengangguk menanggapi.

"Oh, ya, toko ini buka tiap hari, nggak ada hari libur."

"Hah? Serius?" Doni tidak pernah menceritakan bagian ini.

Rio terkekeh. "Tokonya yang nggak libur, karyawannya masing-masing punya hari off, kok. Jangan kaget gitu."

Aku mengangguk lega.

"Kemungkinan besar liburmu hari Rabu sama kaya liburku. Nggak masalah, kan?"

"Iya, nggak apa-apa, kok. Yang penting ada liburnya," kekehku.

"Meski bukan kerja kantoran, tapi, bos kita ini sudah mengatur jadwal dengan baik. Semua yang dia terapkan ke karyawan itu juga berkat ilmu yang dia dapat dari luar negeri katanya."

"Bos kita lulusan luar negeri? Serius?" Aku menatap Rio antusias sambil berdecak kagum pada bos kami yang kutemui hanya saat memperkenalkan diri pagi tadi.

Rio terkekeh lalu mengangguk. "Iya, dia sendiri yang bilang kalau dia lulusan universitas luar negeri, tepatnya universitas swasta," ucapnya lalu tertawa puas.

Aku mencebik kesal. Satu hal yang harus kucatat, tingkat iseng Doni dan Rio tidak jauh berbeda, dan itu juga membuatku harus waspada dengan karyawan lain di toko ini.

"Jadi orang jangan terlalu polos, Ry. Orang-orang di sini agak miring," kata Rio dengan memiringkan jari telunjuknya di dahi."

"Bisa aku lihat, kok," kataku sambil menatap lekat pada Rio.

Rio tertawa puas melihat ekspresiku. "Aku belum seberapa. Kamu hanya belum berhadapan langsung dengan yang lain."

Oke. Terima kasih. Aku benar-benar harus waspada dengan level iseng penghuni toko ini.

Diary Anak RantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang