Sudah seminggu ia menjemput dan mengantarku pulang, semakin hari aku dan dia jadi makin dekat, tiada hari tanpa chat dengannya. Sikapnya masih belum berubah, masih sama seperti dulu, santuy.
"An, gue pengen ngomong sesuatu deh," ucap Farhan yang duduk di sampingku. Kebetulan sedang jam kosong.
"Yaudah, ngomong aja," jawabku tak memalingkan wajah dari buku novelku.
"Serius, An," rengeknya.
Aku meletakkan bukuku, melipatkan tangaku di dada, lalu menghadap kearahnya dan menatapnya serius. "Ngomong aja, Farhan," tuturku.
"Aku jatuh cinta," ungkapnya.
"Hah!?" mulutku setengah terbuka. "Gue kira, lo orangnya gak bisa jatuh cinta," lanjutku.
"Gue normal kok, An," sahutnya.
"Sama siapa?" tanyaku."Ah, gue gak yakin kalau lo bisa jaga rahasia, mulut cewek kan kayak ember," ketusnya.
Aku mencubit mulutnya dengan geram, sampai ia kesakitan. "Makanya, omongan tuh dijaga," cetusku.
Mungkin, ini adalah hari terakhir dia mengantarku pulang, karena lututku sudah lumayan pulih.
Ia memarkirkan motornya di depan sebuah mini market. "Ngapain ke sini?" tanyaku tak turun dari motor.
"Tunggu di sini, ya," ucapnya sebelum masuk ke dalam.
Belum dua menit, ia sudah kembali dan berlaju mengantarku.
Sesampainya di rumah, ia memberikanku coklat batang, saat kutanya 'untuk apa?' katanya sebagai hadiah, karena sudah mau berteman baik dengannya.
Aku tak henti memikirkan siapa wanita yang berhasil membuatnya jatuh cinta, bagaimana jika wanita bukan aku? Ah, apa peduliku.
*****
Setiap hari ia menceritakan betapa dalamnya cinta yang ia rasakan, bahkan ia sendiri tak tahu apa yang membuatnya jatuh cinta, dari A sampai Z ia curahkan padaku, sepenuhnya ia percayakan padaku. Namun, ia belum juga memberitahu siapa wanita yang berhasil meluluhkan hatinya.
Suatu ketika, aku menatapnya lekat dari jauh, entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja aku menyukai sebuah lekukan sabit yang ada di bibirnya. Indah sekali.
Apa mungkin aku jatuh hati padanya? Ah, mana mungkin, kan aku sudah tau kalau dia mencintai gadis lain."Bisa jadi, cewek itu kamu sendiri, An," ucap Aulia sebelum menyuapkan bakso ke dalam mulutnya.
"Gak mungkin, Ya," bantahku.
"Kenapa?""Karena bukan anak kelas kita," ungkapku.
"Hah!? Terus anak kelas mana?" tanya Ika.
"Dia gak kasih petunjuk sedikit pun."
Hari berganti bulan, ia masih merahasiakan pujaan hatinya, tak ada petunjuk sedikitpun, ia hanya menceritakan apa yang ia lalui bersama cinta dalam diamnya. Uh! Dasar Farhan payah. Apa susahnya sih memberi tau nama saja?
Saat kutanya kenapa aku yang ia pilih sebagai tempat curhat, ia bilang karena aku kenal dengan wanita yang berhasil menaklukkan hatinya, aku semakin dihantui rasa penasaran.
'Oke, kayanya gue gabisa pendam lagi perasaan gue, An, gue perlu tau identitas cewe itu dan gue harap lo bisa bantuin gue untuk cari tau." Tulis Farhan dalam pesan yang ia kirimkan untukku.
'Pasti gue bantu kok, Far' Balasku.
'Namanya Luna, anak XI- IPA 3' ungkapnya.
Hatiku seperti ditimbun batu besar, kenapa jadi sesak begini? Apa karena bukan namaku yang ia tulis?
Kuakui, Luna memang terkenal cantik, aku saja tak bosan memandang wajahnya, menurutku ia juga tak banyak tingkah seperti teman sepergaulannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEMAN
RomanceJangan buat seseorang mencintaimu, jika kamu tak siap untuk memberikan hatimu. Karena cinta tak berbalas itu menyakitkan!