Delapan

214 18 1
                                    

Setelah menghabiskan mie ayam, aku menyeruput habis es jeruk. Haaahh, sedap sekali.

"Jangan lupa bayar!" kata Farhan sambil mengelap mulut dengan tisue.

"Heh! Lo yang ajak gue ke sini, ya lo dong yang bayar," sahutku.

"Iya-iya, panik amat." Ia mengeluarkan dompetnya sebelum membayar.

Farhan sudah siap berangkat, aku sedang memakai helm. Saat hendak menaiki motor seseorang memanggilku.

"Andini?"

Aku menoleh. "Hai, Kak Reza," sahutku tak jadi menaiki motor, aku berjalan menujunya.

"Mau kemana?" tanya kak Reza.

"Mau jalan-jalan, kenapa?" tiba-tiba Farhan menjawab.

Aku melotot ke arahnya. Kak Reza menatapku heran seakan bertanya 'siapa dia?'

"Ini Farhan, kak, tem--"

"Gebetannya Andini," potong Farhan. "Udah ya, buru-buru soalnya," lanjutnya sambil menarik tanganku.

Kak Reza melambai sambil mengulum senyum.

Di jalan, aku hanya diam, jujur aku tidak suka dengan apa yang Farhan lakukan, dia memang tidak sopan pada yang lebih tua.

"Kemana lagi kita?" tanyanya.

"Pulang."
"Kok pulang sih?"
"Terus?"
"Yaudah kalau lo marah."

Bukannya dibujuk malah dibiarkan marah, dasar tidak pengertian.

*****

Setelah turun dari motor, aku mengembalikan helmnya kasar, ia menahan tanganku. "Apa lagi?" tanyaku sambil melihat tangaku yang ia pegang.

"Jangan marah dong, An," ujarnya dengan muka memelas.

"Udah, ah, gue capek, pingin istirahat," jawabku sambil berlalu.

Saat hendak masuk ke dalam rumah, ia berteriak. "An, gue minta maaf."

Aku menoleh ke arahnya sebentar sebelum masuk.

Sebenarnya Farhan itu baik, berteman dengannya juga asik, tapi orang-orang sering kali menilai orang lain dari luar, padahal belum tau dalamnya seperti apa.

*****

Di luar hujan gerimis, sepertinya Mama sudah tidur duluan, sementara aku masih belum selesai menonton drama korea di laptopku, kacang polong ikut menemaniku malam ini.

Ponselku bergetar, sepertinya ada yang menelpon.

Oh, kak Reza yang menelpon.

"Halo, An."
"Iya, Kak."
"Lagi hujan, nih."
"Terus?"
"Kamu gak lapar? Aku antar makanan, ya. Mau pesan apa?"
"Eh, gak usah kak, lagian aku udah kenyang kok."
"Yakin?"
"Iya, Kak."

Tut...tut...tut...
Sudah tidak terhubung lagi, entah sengaja dimatikan atau bagaimana aku tidak tau.

Kenapa kak Reza mendadak baik lagi padaku? Apa mungkin dia masih...

Ah, Andini, mikir apa sih kamu?

Ponselku bergetar lagi.

"Iya, kak, kenapa dimatiin barusan?"

"Oh, jadi ada yang lagi teleponan sama mantannya."

Kulihat layar ponselku, ternyata Farhan yang menelpon.

"Kenapa, Far?" tanyaku datar.

"Loh, kok nadanya jadi berubah?"

"Udah lah, langsung to the point aja, ada apa?" tanyaku masih kesal atas apa yang terjadi siang tadi.

"Gue sayang sama lo," ucapnya setengah bercanda.

"Gak penting banget, tau gak sih?" tuturku sebelum mematikan ponselku.

*****

Catatan biologi ku belum selesai, aku harus segera menyelesaikannya sebelum jam istirahat berakhir. Aku sendiri di dalam kelas, fokus mengerjakan catatanku yang harus dikumpulkan sebentar lagi.

"An!" panggil Farhan, ia duduk di sampingku sambil menabrak bahuku. Bukuku jadinya tercoret.

Rasanya ingin sekali meluapkan amarah, tapi jangan, biarkan saja dia sendiri.

"An."
"Andini."
"Andini Sofea."

"Ih! Apaan sih?" aku mendorong tubuhnya yang sedari tadi bersandar padaku.

"An, dengerin gue!"

Aku melanjutkan menulis, palingan dia juga mau bahas tentang Luna.

"Andini, kamu gak boleh dekat-dekat lagi sama Reza, dia bukan orang baik."

Aku menoleh ke arahnya, menatapnya tajam. "Maksud lo apa?"

"Iya, An, Reza bukan orang baik-baik," ungkapnya sekali lagi.

"Farhan, kamu kalau ngomong jangan sembarangan! Aku kenal kak Reza udah lama," bantahku, karena kak Reza memang orangnya sangat baik.

"An, kamu putus sama dia udah lama dan semua orang bisa berubah kapan saja," ujarnya.

Aku berpikir sejenak. "Jadi, maksud lo kak Reza bukan orang baik apa?"

"Nanti lo juga paham," ucapnya sebelum meninggalkanku.

Ah, palingan Farhan cuma ngarang, mana mungkin kak Reza berubah. Aku tau betul kak Reza itu orangnya seperti apa. Tapi, ada benarnya juga kan? 'Semua orang bisa berubah kapan saja'

Apa perasaan Farhan padaku juga bisa berubah seperti perasaanku padanya. Hmm, semoga saja.

Bel berbunyi, pelajaran hari ini sudah berakhir, aku langsung menuju gerbang sekolah, kulirik halte belum ada bis, sepertinya aku harus menunggu sebentar.

"Yuk pulang!"
"Eh, Kak Reza."

Padahal aku tidak ada janji dengannya, kenapa dia menjemputku.

"Andini pulang sama gue," tegas Farhan yang tiba-tiba muncul.

"Tap-"

"Yuk, An, katanya tadi pulang sama aku," potongnya.

Kesabaranku sudah meronta-ronta, dia ini memang sangat menyebalkan. Kalau aku tolak, nanti kak Reza akan mengira kalau aku masih berharap padanya, walaupun sedikit. Yasudah, terpaksa aku ikut Farhan.

Sepanjang jalan aku hanya diam, aku sebal, seharusnya dia tak usah datang tadi, biar aku bisa pulang sama kak Reza. Tapi, kenapa kak Reza? Bukannya aku menaruh rasa pada Farhan?

*****

"Gue gak ngerti sama perasaan gue sendiri, Aul."

"Mungkin lo masih labil, An," ucap Aulia sebelum meneguk tehnya.

Ika, Azra, dan Aulia memang sering main ke rumahku. Di antara kami ber-empat, hanya Aulia yang punya pasangan. Jadi kurasa ia lebih mengerti daripada Ika dan Azra.

"Menurut gue sih, mending lo balikan sama Reza aja daripada pacaran sama Farhan," ujar Azra.

"Gak mungkin juga kali, gue jadian sama Farhan," sahutku.

"Karena cintanya hanya untuk cewe yang dia ceritaan ke lo itu?"

Aku mengangguk.

"An, perasaan orang bisa berubah-ubah kapan aja."

Kalimat itu kembali diucapkan, membuatku mengingat ucapan Farhan tadi pagi.

Kalaupun kak Reza berubah, memangnya dia berubah seperti apa?
Kalau dulu dia setia, apa mungkin sekarang dia tidak cukup dengan satu wanita?
Kalau dulu dia baik, apa mungkin sekarang dia munafik?
Kalau dulu dia adalah seseorang yang tulus, apa mungkin sekarang dia hanya modus?

Ah, pikiranku jadi kemana-mana. Farhan selalu membuatku berpikir yang bukan-bukan.

"Lo ngapain bengong?" Ika membuyarkan lamunanku.

Aku menggeleng pelan.

V O T E 🧡

TEMAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang