Empat

284 23 1
                                    

Hari sudah pagi lagi, rasanya berat sekali membangunkan tubuhku. Semoga Farhan tidak sekolah hari ini, aku masih sangat kesal padanya.

"Andin, bangun nak!" teriak Mama dari luar pintu kamarku.

Aku menghempas selimut yang menutupi tubuhku, semalam dingin sekali. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi, tak lupa kuraih handuk yang kugantung di dinding.

*****

Semoga saja manusia menyebalkan itu tidak datang hari ini. Batinku sambil menatap kelasku yang sudah tak jauh.

"Hai, An," sapa Yudha yang berdiri di ambang pintu.

Tak kujawab, hanya kubalas senyuman tipis.

Saat hendak duduk di bangku, aku melirik ke bangku paling belakang, hmm, Farhan belum datang. Oh ya, mana mungkin dia datang sepagi ini, dia kan sudah langganan telat.

"Liatin siapa, An?" tanya Ika sambil menoleh ke belakang.
"Kamu liatin Riza lagi makan?" lanjutnya.

"Engga kok," jawabku sambil kududuki bangku di sebelahnya.

Lima menit lagi pelajaran pertama akan dimulai, Farhan tak kunjung datang. Loh, bukannya lebih baik kalau manusia menyebalkan itu tidak datang? Kenapa malah menunggu kedatangannya?

Ibu guru menjelaskan apa yang sudah ia tulis di papan. Aku tidak bisa fokus, hati dan pikiranku beradu. Mataku menatap pintu, berharap Farhan datang. Aaahh!! Ada atau tidak Farhan tetap saja menyebalkan, ia mengganggu pikiranku. Bahkan, aku sendiri apa yang terjadi pada diriku sendiri. Ini aneh.

Aku memutar badanku, melihat bangku Farhan yang diisi oleh Dani. Aku bertanya pada Ika "Farhan kok gak da-"

"Nah, ini dia," potong bu guru.

Segera kutolehkan wajahku ke depan. Kulihat Farhan yang baru datang. Tak langsung menduduki bangkunya, seperti biasa, ia harus diintrogasi dulu.

*****

Tadinya aku ingin ke kantin, tapi kuurungkan niatku, karena Farhan juga ikut ke kantin.
Lagi-lagi perpustakaan menjadi tempat ternyamanku.

Aku memilih buku untuk dibaca. Wah, bukunya ada di rak paling atas, sepertinya aku butuh bantuan untuk mengambil buku ini, aku sudah coba mengambilnya, tapi tinggiku tak cukup.

"Kan gue udah bilang, kalau butuh bantuan panggil gue aja." Ya, aku kenal betul suara itu.

"Ngapain sih kesini? Gausah ganggu aku sehari aja bisa gak sih?"

"Udah, sini gue bantu," ucapnya, ingin mengambil buku.

Aku menepis tangannya, "Gak usah! Aku bisa sendiri."

Sekali lagi kucoba mengambil buku itu, kujinjitkan kakiku. Farhan hanya melihat tingkahku, tangannya ia masukkan ke saku celana.

Tubuhku melayang, untung saja Farhan sigap dalam menangkap tubuhku. Ia menatap mataku yang jaraknya hanya 7cm dari matanya. "Makanya, jangan sok-sok-an," bisiknya belum melepaskan tubuhku.

Setelah degupan jantungku kembali normal, aku langsung berdiri tegap. Gugup sekali rasanya. "Makasih," ucapku tak berani menatapnya.

"Gak bisa gitu dong," ucapnya.

Aku mengangkat alis.

"Kalau gak ada aku, badan lo udah remuk, An," pungkasnya.

"Yaudah, lo maunya apa?"
"Makan di kantin, berdua."

Dasar aneh!
Untuk apa dia mengajakku ke kantin? Untuk menunjukkan tatapan cintanya pada Luna seperti hari itu? Dia memang benar-benar menyebalkan.

Aku hanya mengaduk-aduk mie ayam yang ada di hadapanku, sesekali kulirik lelaki menyebalkan yang duduk di depanku, makannya lahap sekali.

"Eh, Luna," ucapku.

Farhan langsung tersedak dan mendongak. "Mana?" tanyanya, padahal makanan masih belum selesai ia kunyah.

Aku tertawa puas. Ia menatapku kesal dan melanjutkan makannya.

Usai makan, ia meraih tisu. Ia melihat makananku yang masih penuh. "Kok gak dimakan?" tanyanya.

Belum sempat kujawab pertanyaan, ia langsung pindah duduk di sampingku. "Iya, aku tau, kamu mau disuapin kan?" tanyanya.

"Eh-"
"Udah, gak usah malu-malu."

Ia meraih mangkuk mie, menyuapkan ke dalam mulutku, karna sejujurnya aku sudah lapar sejak tadi, tapi aku gengsi, hehe.

"Makan yang lahap, ya, sayang," bisiknya.

Aku menatapnya sinis sambil meraih minuman jeruk.

*****

"Aku gak ngerti, makin lama perasaanku makin aneh," lirihku.

"Kamu beneran jatuh hati sama Farhan, An. Karna kalau kamu gak kepincut sama dia, kamu gak mungkin kayak gini," jelas Aulia.

"Setuju," sahut Ika dan Azra.

Aku hanya menghela nafas. Susah sekali menerjemahkan perasaanku sendiri. Benarkah ini cinta? Tapi aku tidak mau jatuh cinta padanya, bagaimana ini?

Setelah ketiga sahabatku pulang dari rumahku, aku putuskan untuk menenangkan diri, bersama senja. Semoga saat senja ditelan malam, perasaanku juga ikut ditelan ikan paus dan dibawa ke dasar laut.

Aku duduk di tepi pantai, sendirian. Kulihat senja, cahayanya indah, tapi tak bisa mengalahkan tatapan mata Farhan, ya, mata Farhan lebih indah dari senja, aku tak akan bosan menatapnya.

Sesekali ombak menyapu kakiku. Rambutku dihembus angin sore, membuatku harus menyekanya berkali-kali. Tatapanku fokus ke depan, melihat senja yang sebentar lagi akan tenggelam.

Angin kembali menghembuskan rambutku. Kurasakan sebuah tangan menyeka rambutku, lalu mengusap pipiku perlahan. Langsung kutolehkan wajahku ke arahnya, ia sedang menatapku lekat, kubalas tatapan lamat, tak lama kemudian ia memberiku secarik senyum.

"Sedang apa di sini sendirian?" tanyanya seraya duduk di sampingku.

"Terserah gue dong mau kemana aja," ketusku.

"Yee, ditanya baik-baik malah gitu," sahutnya.

"Kamu ngikutin aku?" tanyaku.

"Caelah, kayak gak ada kerjaan aja."

"Terserah lo," ucapku seraya bangun dari duduk, kusapu celanaku yang agak kotor.

Saat aku hendak pergi, ia menarik tanganku. "Mau kemana?" tanyanya.

Tak kujawab, aku hanya menatap matanya, ya, aku terpana. Mungkin juga, aku jatuh cinta. Matanya begitu indah, sudah tiga tahun berteman dengannya dan aku baru menyadari ini.

Ia ikut bangun, tangaku tak ia lepaskan. Berdiri tepat di hadapanku, ia memegang kedua pipiku. "Kamu kenapa?" tanyanya lembut. Mataku seperti ditahan untuk tidak mengalihkan padangan dari mata indahnya.

"Jadi, kamu gak mau cerita lagi sama aku?" tanyanya lagi.

"Nanti ya, kalau sudah saatnya," lirihku, mataku berkaca-kaca.

Ia memelukku, air mataku tumpah di dalam pelukannya.

Aku pulang dengannya, karna tadi aku datang sama ojek online.

Setelah turun dari motor, aku melepas helmnya, "terima kasih, ya," ucapku.

"Apanya yang makasih? Baju gue basah gara-gara lo nangis," ucapnya.

"Siapa suruh peluk gue," bantahku sambil menjulurkan lidah.

"Tapi, sebenarnya lo kenapa sih, An?" tanyanya kembali serius.

"Heh, ini udah mau malam, lo mau keluyuran maghrib begini?  Mending lo pulang sonoh."

"Dasar cewe! Nanti kita lanjut di chat ya," katanya sambil menghidupkan motornya.

Saat ia melaju, tak lupa kulambaikan tangan.

VOTE SAYANG ♥

TEMAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang