Tigabelas

210 15 0
                                    

Seluruh ujian telah selesai, hari ini adalah hari terakhir. Farhan mengajakku duduk di pinggir danau. Katanya ada hal yang mau diomongin, mungkin ia ingin menceritakan kenapa ia kecewa.

Angin sepoi-sepoi membuat rambutku sesekali menutupi wajahku. Farhan duduk di sampingku sambil melemparkan batu ke dalam danau.

Aku memandanginya. "Apa yang mau kamu omongin?" tanyaku.

"Besok, aku langsung berangkat ke Kuala Lumpur," ungkapnya.

Hatiku seperti dihujam es batu besar. Farhan akan pergi, kepergiannya di depan mata, kenapa harus pergi?

Kalau kau di sana nanti, apa akan ada wanita lain yang menjadi penggantiku? Dan apa kau akan melupakan Luna?

"Baik-baik di sana," sahutku.

Air mataku tak dapat kubendung lagi. Aku benar-benar terpukul. Semesta, tolong jangan biarkan Farhan pergi, aku tak akan sanggup tanpanya di sini.

"Sudah, An, gak perlu nangis," katanya sambil menyenderkan kepalaku di bahunya.

Aku semakin terisak. Bolehkah aku menenggelamkan diriku ke danau saja? Ini benar-benar tak bisa kuterima.

"Lalu, bagaimana dengan Luna?" tanyaku.

"Luna?"

"Iya, Luna."

"Dia penyebab semua ini, An."

"Maksudnya?"

"Sehari sebelum kita ke Bogor, Luna udah tau kalau aku suka sama dia dan dia bersikap manis sama aku, seakan-akan dia kasih aku harapan. Tapi, ternyata dia sudah duluan menjalin hubungan sama lelaki lain, hati mana yang tidak sakit, An?" dia menoleh ke arahku.

"Lalu?"

"Di hari aku kecelakaan, aku gak fokus bawa motor, karena mikirin dia terus. Gak tau kenapa, sudah separah ini, tapi cintaku tetap masih untuk Luna," jelasnya.

Aku seperti ditampar berkali-kali, bahkan ini lebih sakit dari sebuah tamparan. Rasanya ingin lompat saja ke dalam danau.

Ternyata cintanya pada Luna memang sangat dalam, padahal kejadiannya sudah sepelik ini. Luna memang wanita paling beruntung, namun sayang dia tidak menyadari keberuntungannya.

Aku tau kalau aku sedang berjuang sendiri, tapi aku tak sanggup untuk pergi dari dia yang tak yang mencintaiku.

Mungkin memang sudah saatnya aku mengutarakan isi hatiku, kalaupun tidak, mau sampai kapan aku menahannya sendirian?

"Bagaimana kalau kuberikan hatiku padamu?" tanyaku setelah berpikir panjang.

"An?" dia seakan bertanya serius.

"Farhan, aku akan mengobati luka di hatimu, aku akan sembuhkan sakit dan sedihmu, aku mencintaimu, Farhan."

Mulutnya setengah terbuka. Dia tersenyum sinis seakan tidak percaya.

"Tapi, apa alasan kamu mencintaiku, An? Padahal selama ini hampir tidak ada yang tertarik padaku."

"Cinta tidak butuh alasan."

Dia menggelengkan kepalanya.

Aku menatapnya, lalu tersenyum paksa sebelum pergi meninggalkannya sendirian.

Setelah sampai di rumah, aku langsung menuju kamarku, kubanting tubuhku ke kasur, mataku sudah basah sejak di jalan tadi. Tangisanku semakin deras, aku memeluk erat bantalku.

Apa yang aku lakukan barusan benar?

Harusnya aku tak perlu bilang kalau aku mencintainya.

Harusnya aku cukup diam mendengarkan curahannya.

TEMAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang