Sebelas

212 18 0
                                    

"Kita nginap di sini?" tanyaku setengah kaget.

"Iya dong," sahut Farhan dengan santai.

"Lo udah gila? Uang gue gaakan cukup, Far." aku menggeram.

"Sssttt!! Santai, An, malu diliat orang, kamu tinggal bobo manis aja, aku yang bayar," ujarnya.

"Hah!? Lo punya uang darimana?"
"Udah, ayo masuk."

Aku dan Farhan akan menginap di Puncak Pas Resort. Tentunya di kamar yang berbeda, kamarku dan kamarnya bersebelahan. Entah dari mana dia dapat uang untuk membayar penginapan semewah ini. Katanya besok ia mau mengajakku ke Riung Gunung. Aku ikut saja, toh semua dia yang tanggung.

*****

Pagi ini suasana segar sekali, setelah sarapan aku langsung menuju kamar Farhan, dan ternyata dia belum siap.

Aku menunggunya di luar villa, sambil melihat kesana kemari, di sini pemandangannya indah sekali, tapi tetap tak ada yang lebih indah dari mata Farhan.

"Yuk, kita berangkat sekarang," ucap Farhan yang tiba-tiba muncul di belakangku, ia menarik tanganku.

"Farhan, kamu kenapa?" aku melihat matanya merah seperti orang baru menangis.

"Gak kenapa-kenapa, ayo," ujarnya datar.

Aku melirik ke dalam villa, aku melihat seorang wanita, sepertinya itu Luna, tapi aku tidak yakin, karena aku melihatnya dari belakang. Apa mungkin wanita itu yang membuat Farhan menangis?

"Ayo, An!"

Di perjalanan, Farhan tidak bicara sama sekali. Dia marah padaku atau bagaimana? Memangnya aku melakukan kesalahan apa?

Sesampainya di Riung Gunung, aku dan dia berjalan mengikuti jalan setapak, ia menggandeng tanganku. Tapi ia hanya bungkam.

"Far, lo nangis barusan?" tanyaku.

"Hah!? Gue nangis? Ngaco lo, An," jawabnya sambil tertawa ringan.

"Terus, mata lo kenapa bisa merah gitu?"
"Kelilipan doang kok."

Aku tertawa renyah. "Memangnya di dalam villa semewah itu ada debu, Sampe kamu kelilipan?"

"Udah dong, An, gak usah dibahas, gak seru," ujarnya.

"Kamu kenapa sih? Cerita dong sama aku."

Ia mengajakku duduk sambil menikmati pemandangan.

"An?"
"Heemm?"
"Selesai SMA, aku lanjut kuliah ke Kuala lumpur."

Langit biru tiba-tiba saja berubah jadi mendung.

Aku menatapnya lekat, memastikan kalau dia juga menatapku, ya, dia menatapku juga, itu artinya dia tidak berbohong.

"Kenapa harus ke sana?" tanyaku murung.

"Ini kemauan bunda, An."

Dadaku sesak, aku susah bernafas, air mataku menetes, aku tidak tau harus menjawab apa lagi.

"Jangan nangis, An," ucapnya sambil mengusap air mataku.

Tangisku semakin pecah, dia memelukku erat, kubalas pelukannya. Aku tidak mau kehilangan Farhan, aku maunya terus bersama Farhan. Farhan tidak boleh pergi.

Bagaimana kalau aku merindukan dia dan aku tidak mampu untuk menyampaikan rindu itu? Bagaimana kalau rindu itu berubah jadi candu?

Aku menangis sesegukan, Farhan terus aja menenangkanku, ia mengelus lembut rambutku, tapi rasa sedih ini tak bisa kusembunyikan, aku tak mau jauh darinya.

TEMAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang