Lima

249 22 1
                                    

Rasanya waktu cepat sekali berlalu, padahal aku masih ingin melalui hari-hari bersama teman-temanku, mereka asik, hmm, tapi ini sudah hukum alam ; setiap pertemuan pasti ada perpisahan.

"Ma, Andini berangkat dulu, ya."

Di halaman rumahku, Farhan sudah berdiri dengan vixion kesayangannya. Aku mendekatinya perlahan. Langsung saja ia pakaikan helm di kepalaku. Aku tersenyum lebar, dibalas sebuah cubitan di pipiku.

Sesampainya di sekolah, ia mambantuku melepaskan helm, berlebihan.

"Tumben hari ini gak telat," kataku menyikutnya yang berjalan di sampingku.

"Karna mau jemput kamu," sahutnya.

Aku melangkah menuju kelas, bersamanya.

Ya, aku akui kalau aku memang sudah jatuh cinta padanya, rasa ini tumbuh karena aku nyaman dengan segala perhatian yang ia berikan padaku.

Rasa ini tak bisa dikatakan 'hanya ketertarikan sesaat' karena ada rasa yang terus tumbuh subur di dalam dada. Rasa ini tak bisa kuatur, ia terus saja lari menuju Farhan, sudah berulang kali kucoba mengabaikan rasa ini setiap kali ia datang menyergap lewat setiap perhatian yang Farhan berikan.

Namun, setiap kali aku ingin mengabaikan rasa ini, yang kudapat hanyalah sesak di dalam dada. Aku berusaha mencari arti, ketika jantungku berdebar kencang saat menatap indah wajahnya. Rasa itu datang dengan sendirinya, diam-diam.

Mungkin saja cintaku ini keliru, ia datang pada orang yang salah. Aku tidak pernah meminta untuk ada di posisi ini, tapi semesta mungkin sedang tidak berpihak padaku. Aku tidak mengatakan kalau semesta tidak adil, karna aku tau semesta sedang mengajarkan aku supaya dewasa.

Kalian tau kenapa aku menyembunyikan perasaan ini darinya?
Karena, aku takut semua tak sesuai ekspetasi, lagipula jawabannya sudah pasti 'tidak', kan aku sendiri tau kalau dia mencintai orang lain, bukan aku.

Aku sudah berkali-kali dikecewakan oleh harapan yang kurajut sendiri, tapi aku tidak tau kenapa aku terus saja berteman baik dengannya, terus kurajut, tak peduli akan seperti apa akhirnya nanti, akan kembali dikecewakan kah? Atau tidak sama seperti yang sebelumnya? Entahlah, ini rumit.

*****

Setelah jam istirahat, kulihat tempat duduk Farhan kosong, ia tak ada di dalam kelas, kemana dia pergi?

Aku izin ke toilet, walau sebenarnya aku ingin mencarinya. Sudah kucari ke segala penjuru sekolah, tapi aku tak menemukannya.

Langkahku terhenti, kulihat Farhan, Dani, dan Riza sedang berbicara dengan dua orang perempuan, ya, perempuan itu Luna dan temannya. Farhan menatap Luna penuh cinta, ia hanya bungkam, yang asik mengobrol ialah Dani dan Riza.

Aku mundur perlahan, rasanya sakit ketika aku peduli pada seseorang yang tak peduli padaku. Dasar bodoh!

Aku berlari menuju kelasku sambil terisak, entahlah, perasaan ini merepotkanku, tapi perasaan ini datang dengan sendirinya, tanpa diundang. Aku masih berusaha tegar. Entah terlalu pintar menyembunyikan perasaan atau terlalu bodoh dalam mengungkapkan.

Ayolah Andini, yang tak punya hati  jangan dimasukkan ke dalam hati, yang main-main tidak perlu dianggap serius, yang tidak punya perasaan jangan dibawa perasaan. Kalau sedang rapuh simpan sejenak hatimu.

Aku pulang sendiri, tak kutunggu Farhan, entah dia mencariku atau tidak, aku sudah tak peduli.
Tunggu... Kenapa aku harus marah padanya? Dia kan tidak tau apa yang aku rasakan padanya, dia tidak tau kalau aku mencintainya. Ya, ini bukan salah Farhan.

Supir Bis menginjakkan pedal gas. "Hei, tunggu!" teriakku dari belakang. Terlambat, bis sudah berangkat.

Aku menunggu bis selanjutnya di halte, sudah tidak ada orang. Tiba-tiba langit yang cerah berubah menjadi mendung, seperti hatiku. Angin mulai membelai tubuhku, sedikit merinding.

Tak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya, aku semakin kedinginan, tak ada orang yang lewat, yang kulakukan hanyalah memeluk tubuhku sendiri, sesekali aku menggosok kedua tanganku. Aku tidak tahan, dingin sekali.

Seseorang lari menuju halte, tak bisa kulihat jelas siapa dia, karena hujan turun sangat deras.

Ia berdiri di sampingku, melepas jaket hoodie yang ia kenakan. "Pakai ini," katanya.

"Tidak usah, Far, nanti kamu kedinginan," tuturku gemetar, aku sudah sangat kedinginan.

"Kamu pucat sekali, An, pakai ini," katanya memaksa.

Setelah kupakai hoodie miliknya, ia mengusapkan kedua tangannya, lalu ia tempelkan di pipiku.

"Kenapa engga tunggu aku?" tanyanya.

Aku tak menjawab, aku benar-benar kedinginan, gemetar.

Ia memelukku, ya, hangat sekali.

Karena hujan tak kunjung reda, dia membawaku pulang secara terpaksa. Aku dibawa kerumahnnya, karena rumahnya lebih dekat.

Dia memberiku handuk, aku juga dipinjamkan bajunya, aku sudah basah kuyup.

Setelah mengganti baju, ia menghampiriku yang duduk menunggunya di ruang tamu. "Nih, minum dulu,"  ucapnya sambil menyodorkan segelas minuman.

"Thanks, ya," sahutku sebelum menyeruput coklat hangat buatannya.
"Kamu sendirian di rumah?" tanyaku.

"Iya, Bunda lagi keluar kota," sahutnya.

Aku hanya mengangguk pelan, mengiyakan kalimatnya.

"Kenapa gak tunggu aku?" tanyanya.

Astaga, harus kujawab apa ini? Gak mungkin kan kalau kujawab 'aku cemburu, kamu memberikan tatapan penuh cinta ke Luna' itu gak lucu Andini. Batinku.

"An?"

"Oh, ini, tadi aku pikir kamu udah pulang, karena kamu gak ada di kelas," sahutku asal.

"Kan aku udah bilang kalau kita pulang bareng, ya gak mungkin dong aku tinggalin kamu sendiri," jelasnya. "Kan aku sayang sama kamu," lanjutnya.

"Sa ae lu."

"Eh, An, tadi gue ketemu Luna," ungkapnya.

Hatiku seperti dihantam es batu satu truk, berat sekali mau bernafas. "Oh, ya? Kalian ngomong gak?" tanyaku berusaha santai, lalu menyeruput lagi minuman yang ada di atas meja.

"Engga sih, aku ikut Dani doang. Kalau lagi deket gitu rasanya greget banget tau, An," jelasnya semangat.

"Ah, lo ngomong aja, masa ngobrol sama cewe aja gak berani, giliran di kelas teriak-teriak, cemen lo," ejekku.

"Dah lah, males gue cerita sama lo," pasrahnya.

Memang itu yang aku mau, berhenti menceritakan wanita lain di depanku, aku sungguh tidak suka itu.

Farhan, kau masuk ke dalam hidupku tanpa permisi, berputar bagai gasing di dalam pikiranku. Hatiku keras kepala, ia tak mau melupakanmu.

Andai saja kamu tau perasaanku padamu, tapi aku takut semua tidak sesuai ekspetasiku.

Di balik tegarnya aku, ada hati yang berkali-kali remuk saat melihatmu memberikan tatapan penuh arti pada wanita lain.

VOTE BEIBY ♥


TEMAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang