J.J.K

462 75 188
                                    

𝚛𝚎𝚌𝚘𝚖𝚖𝚎𝚗𝚍𝚎𝚍 𝚛𝚎𝚊𝚍𝚒𝚗𝚐 𝚠𝚒𝚝𝚑 𝚊 𝚋𝚕𝚊𝚌𝚔 𝚋𝚊𝚌𝚔𝚐𝚛𝚘𝚞𝚗𝚍.



Ia menghetikan langkah, berdiri di sisi koper sebelah tangan. Menghadap meja resepsionis, memindai sebentar dua pemudi di depan.

"Permisi, 1 minggu yang lalu aku sudah berbicara dengan bos mu di telepon untuk membeli apartemen disini."

Sejenak, menatap wanita di balik meja.

Wajah datar, tegas, perfeksionis, tanpa senyuman. Cantik, mata sipit, rambut tergulung tinggi, kulit pucat kemerahan. Satunya lagi memiliki aksen beku, sedikit ramah, tatapan hangat. Dengan perawakan tinggi langsing, keduanya terlihat sejajar.

"Bisa berikan surat pembayaran nya, nona?"

Salah satu di antarnya yang bersurai blonde manatap gadis itu -Kim Lian- lama.

Lian mengangguk acuh sebelum merogoh tas selempangnya dan tanpa bicara memberikan apa yang mereka mau.

Lantas, setelah memeriksa dengan benar kertas putih dengan tanda tangan di ujung kanan paling bawah, sorot mata itu berkilat kepuasan.

Kemudian salah satunya beralih, menunduk mempersiapkan dokumen sekaligus kunci kamar.

Maka sembari menunggu, Lian memutar tubuh dan bersandar di depan meja. Retinanya memindai sekeliling.

Benar juga kata si tiang itu, mewah bukan main tempat ini. Batinnya diam-diam memuji.

Baru kemarin ia datang dari Seoul, kakak laki-lakinya -Kim Jaehyun- memutuskan ia harus melanjutkan sekolah di Jepang. Tidak mau menolak juga karena gambaran mobil lambhorgini hitam justru membutakan akal logis Lian. Jaehyun memang tau apa yang dia mau.

Masa bodoh jika ia meninggalkan tanah kelahirannya. Toh, tidak ada kenangan manis yang mengharuskan Kim Lian tetap tinggal. Teman? Banyak kok, palsu semua malah. Pacar? Sayang dia jomblo, mantannya saja yang berjejer rapi seperti antrian konser. Nah, bagaimana dengan orang tua?

Oh well, Lian sudah lupa siapa ayah dan ibunya, bisa dibilang silsilah keluarganya cukup rumit. Seperti Ayahnya punya Istri lain, sudah punya Istri juga masih bermain-main dibelakang. Ibunya lebih parah, gonta-ganti kekasih hampir setiap harinya, bahkan nge-seks dengan sembarangan pria.

Pusing kan? Sama, Lian juga. So, anggap saja dia tidak punya orang tua untuk saat ini.

Lian berpaling menghadap depan lagi, fokus meneliti backdrop di belakang wanita-wanita itu. Terukir tipografi memukau yang di tempel tulisan TH Apartement besar-besar dengan warna ungu muda, di bawahnya, terletak jajaran seni cetak aksara lima bahasa; Jepang, Inggris, China, Italia, Jerman, yang dibuat berbaris dengan kutipan literatur modern. Yeah, setidaknya ia bisa memahami 3 bahasa disitu.

"Kamar 3003."

Atensinya teralih, sekejap menegapkan diri. Menemukan wanita itu menyuruhnya menandatangani absensi ruang, Lian melakukannya, lantas menerima kunci cadangan serta card acces system, meniup balon permen karetnya main-main sambil melambai-lambaikan dua benda ditangannya,

"Thanks. "

Ia berbalik pergi dan menggeret kopernya menjauh.

Menaiki lift seorang diri, Lian menekan tombol ke lantai 10, menunggu pintu terutup dan menjadikannya terlilit sepi.

Ting!

Kekanakkan mungkin, tapi dia total menyukai sensasi ketika elevator ini bergerak naik, karena perutnya serasa tergelitik, menyenangkan sekali. Sempat terbesit ide untuk menaik-turunkan lift sekedar bermain. Namun tersadar dengan apa yang ia harapkan, Lian langsung menampar kecil pipinya seraya mendesis, "Bangsat Kim Lian, kontrol dirimu. Sudah dewasa jangan seperti bocah."

ÑyctophiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang