Prolog;

1.4K 95 9
                                    

"Han, masih di sini?" Hanif menghempaskan tubuhnya di atas sofa, di kantor guru yang bernuansa ceria tersebut. Sementara itu, Hanania sedang membereskan meja yang penuh dengan buku mewarnai murid-muridnya. "Lho kenapa?"

"Itu murid kesayanganmu lagi sendirian di bangku taman. Nanti diculik gimana?" gurau Hanif.

Hanan tahu, yang dimaksud oleh Hanif adalah Zahra. Seorang gadis empat tahun yang sangat cantik. Imut. Kulitnya putih bersih, dengan bibir semerah darah dan bulu mata superlentik dan lebat. Biasanya Zahra diantar jemput oleh Budenya. Bude Saroh. Tapi hingga jam menunjukkan pukul sebelas lewat, belum ada tanda-tanda Bude gadis itu menjemputnya.

"Serius? Memang Bu Saroh belum jemput?" tanya Hanan

"Nggak tahu juga," Hanif mengangkat bahunya. "Nggak kamu anterin pulang aja? Kan dekat sama rumahmu, ra? "

"Wah, aku mesti muter  nganterin Daffa  dulu. Kalau  Nabil sih rumahnya searah.  Kamu aja. "

"Aku hari ini nganterin Diva, Meiza, sama Sifa. Duh,  itu sama aja muterin kota, Non. Gaji segitu-gitu tapi tanggungjawabnya banyak bener ya?!"

"Hush! Kok ngeluh!"

"Terus gimana? Aku cuma naik Beat tahun 2013, lho, Han. Bu Yuni sih naik mobil enak!"

"Apa hubungannya? Lagian masih bagus ada motor. Daripada naik gerobak." Hanan bangkit dari kursinya. "Kamu enggak mau pulang, nih? "

"Huh...! Capek. Maunya langsung pulang lalu minum es sirup! Leyeh-leyeh, sambil nonton FTV!"

"Udah tua nontonnya FTV?!" ledek Hanan

"Biarin, daripada pusing ditanyain melulu. Kapan nikah? Emang hari gini nyari jodoh gampang? Setiap cowok asal udah akil balig aja udah ada yang punya semua!"

"Lha kamu dilamar Mas Yunus juga emoh."

"Mas Yunus usianya berapa, Non? Tiga puluh dua! Aku berapa? 23. Maunya yang muda. Paling enggak ya 27 gitu. Jangan tua-tua amat! Nggak enak. Ntar aku ketularan tua!"

"Mateng itu, bukannya tua. Lagian Mas Yunus kan sawahnya lebar. Delapan hektar. Njur bayangke!" kelakar Hanan geli. Mereka bangkit dan keluar dari ruangan bercat perpaduan antara biru langit, hijau dedaunan dan kuning lemon yang terang. Hanan menutup pintu di belakangnya.

"Kamu aja kalau mau!" bantah Hanif sewot. Hanan tahu betul, kedua orangtua Hanif ngotot menjodohkan gadis itu dengan Yunus.

"Aku? Haelah, kok malah jadi aku? Wong Mas Yunus naksirnya sama kamu!"

Hanif mencebik.

"Gayamu, Han. Masamu aku ra weruh ye? Kamu nunggu anak pupuk bawang kae ra?"

Giliran alis Hanan yang mengernyit. "Siapa?"

"Halah! Si itu. Murid Bapakmu yang suka ngapeli Fitria! Yo, ra?  Yang pas malem Minggu nungguin kamu di depan rumah! "

"Yo tanya sama Fitria, dong! Mana ada hubungannya sama aku! kilah Hanan sedikit gugup. Takut ketahuan kalau ternyata memang ada anak bawang yang naksir dia.

"Halah, tenan, ra? Wong aku lihat dia nontonin kamu aja kok. Nyari Pak Rur gimana? Alasan wae!"

Pikiran Hanan langsung lari ke sesosok wajah kalem tetapi mempunyai sorot mata tajam dan dingin. Anak lelaki berusia 18 tahun dengan rambut ikal dan dagu yang lancip menggantung. Bibirnya merah kecokelatan dengan hidung mancung. Tanpa sadar wajah Hanan memerah.

"BTW Mas Wafiq sekarang umur berapa ya, Han?" khas Hanif. Kalau ngomong topiknya suka loncat-loncat. Kalau tidak terbiasa, orang pasti mikir bahwa Hanif suka kurang nyambung tidak jelas kalau diajak ngobrol. Untungnya, Hanan bisa mengimbangi.

Cinta Yang MenungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang