Tujuh:

339 51 1
                                    

Sehari sebelumnya...

"Bener, Mas mau nikah?" Zahid dikagetkan dengan kehadiran adiknya.

Hafiz dalam kemeja putih bermotif garis-garis halus vertikal dan celana jins abu-abu sedang duduk di kursi kayu di teras rumah Zahid di kawasan Banyumanik.  Sementara Zahid baru pulang pukul tujuh. Pria itu  sempat mengira pemuda yang duduk seenaknya di kursi teras rumahnya itu adalah gali, atau orang yang punya niat buruk. Lihat saja penampilannya! Kurus, kumus-kumus, rambut sudah melewati tengkuk, keriting awut-awutan. Belum lagi brengosnya yang lebat bukan main. Jelek mirip semak belukar.

"Kamu kapan pulang?" tanya Zahid, lelaki itu mengambil tempat duduk di seberang kursi yang diduduki adiknya. Hanya terpisah dengan sebuah meja bundar.

Wajah Zahid tampak letih sekali. Kusut. Indri benar-benar menguras emosinya tadi. Dia berkata akan membicarakan pekerjaan. Tetapi pada kenyataannya, perempuan itu lebih banyak melantur sepanjang acara meeting tadi.

"Jadi benar Mas mau nikah?" tanya pemuda itu lagi.

"Iya, " jawab Zahid malas. "Kamu baru datang?" ulang Zahid.

"Kemarin. Aku nginap di tempat teman di Gunungpati. Terus tadi pagi ada rombongan teman SMA yang ngajak keliling di Semarang,"

Bicara tentang teman SMA, Zahid baru teringat, Hanan katanya adalah teman SMA Hafiz. Dan dia belum menghubungi gadis itu lagi sejak mengantarkannya pulang siang tadi.

Ia terlalu lelah. Badannya terasa pegal-pegal . Semingguan ini ia banyak menghabiskan waktunya untuk mondar-mandir di jalan.

"Oh, ya? Ke mana aja?" tanyanya tidak fokus. Dikarenakan tubuhnya sudah mulai memberikan reaksi berupa lengket dan gatal-gatal akibat belum sempat mandi. Untungnya sudah sempat magriban di jalan tadi.

"Biasa Kota Lama. Tadinya mau ke Brown Canyon juga. Tapi aku belum pulang ke rumah. Terus waktu liburanku jatahnya juga tinggal sedikit. Sori, waktu Mas lamaran aku nggak bisa pulang. Waktu itu aku lagi muncak. "

Pantes sekarang agak iteman, batin Zahid dengan mata yang sekilas melirik pada lengan adiknya yang seingatnya dulu putih. "Nggak apa-apa. "

"Mas dapat orang mana? Ara cocok nggak sama Ibu barunya?"

Zahid hanya mengangguk.

"Yu Saroh?"

"Dia sponsornya,"

Hafiz tertawa. Zahid bangkit dari kursinya lalu melangkah ke pintu. Mengeluarkan kunci dari saku celananya, lantas memasukkan kuncinya ke dalam lubang. Setelah pintu terbuka, dia menoleh kepada adiknya. "Mau masuk?"

"Boleh minta minum, kan?"

"Ambil sendiri. Ada mie instan juga."

***

Paginya, setelah mengantarkan Hafiz ke terminal Penggaron, Zahid langsung menuju kampus.

Semalam ia ditelepon oleh Uminya, menanyakan acara jalan-jalan mereka hari itu. Seperti biasa, Uminya mencerewetinya tentang tata cara memperlakukan Hanan sang calon menantu.

"Kata Mbak Yu mu kamu balik kerja, sehingga acara jalan-jalan itu jadi sebentar saja? Bener itu, Nang?"

"Iya, Bu. Soalnya orang yang ngajak kerjasama itu besok mau ke Jakarta. Jadinya cuma bisa lihat lokasi hari ini. " Jelas Zahid sabar.

Hidupnya yang terbiasa tenteram sebab Bude yang merawatnya adalah orang yang kalem, kini  harus berubah 180 derajat karena Ibunya ini tergolong orang yang ramai.

Ibu dan Mbak Yu nya luar biasa hiperaktif dalam mengurusi kehidupan percintaannya. Mereka merasa harus turut andil dalam menentukan masa depan Zahid dan Zahra, setelah sebelumnya tugas itu diambil alih oleh kakak Nyai Masykur.

Cinta Yang MenungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang