"Jadi gimana acara kemarin itu?" tanya Hanif tidak sabaran, ketika menjemput Hanan untuk berangkat bareng ke sekolah pada Senin pagi itu.
Sengaja dia bangun pagi-pagi, supaya sempat mampir ke tempat Hanan, lalu menginterogasi sahabatnya itu tentang kencan bertema "Keluarga Kecil Bahagia" pada Minggu kemarin.
"Kamu mau oleh-oleh, ndak? Aku punya bandeng Elrina?"
"Ah, entar pulangnya aja, Han. Kalau kubawa ke sekolah nanti malah digondol kucing. Sekarang cerita. Udah kita berangkat pakai satu motor aja. Punyaku, atau punyamu. Ndak pakai rendengan kayak pawai!"
"Ngawur aja kalau ngomong, " sergah Hanan. "Nanti gimana aku nganterin Daffa sama Nabil, coba. Belum lagi kalau Bu Saroh ndak bisa jemput Zahra!"
Mendengar jawaban tersebut, Hanif malah tersenyum. Senyum yang terkesan meledek seakan-akan bilang, "nah, lho!"
"Apa pakai senyum-senyum gitu? Sinting! Udahlah ayo berangkat sekarang. Keburu telat ntar," Hanan menyeret lengan Hanif untuk ikut pamitan kepada Bapak dan Ibunya. Bapak sendiri sudah rapi dalam balutan seragam dinasnya, begitupun Ibu yang mengajar di SD di dekat sini.
"Jadi gimana sih, Han? Orangnya nyebelin atau nyenepin, atau nyenengin?" interogasi dimulai lagi ketika jam istirahat.
Sementara Hanif asyik mengudap nasi bekal yang dibawanya dari rumah, Hanan hanya menghela nafas resah. "Ya gitu lah." Kata Hanan.
"Orangnya baik, sih. "
"Kok ada sih, nya?" Hanif curiga. Mereka kali itu makan di pekarangan belakang gedung TK. "Ndak ikhlas banget gitu kamu mujinya," Hanif manyun.
Hanan hanya mengangkat bahu. Dia masih teringat raut wajah Zahid yang terkesan kaku sepanjang acara jalan-jalan Minggu kemarin. Padahal Hanan sudah berusaha tidak kagok. Belajar ramah pada lelaki yang tiga bulan lagi akan menjadi suaminya.
Akan tetapi lelaki itu lebih banyak diam. Tidak mau buka mulut kalau tidak dipancing dulu. Jarang muncul senyum dari bibirnya yang kemerahan. Kalau toh senyum pun hanya senyum kecil yang kaku. Pantas saja Zahra juga jadi pendiam begitu. Mungkin karena jarang diajak berkomunikasi. Lebih parahnya, anak perempuan itu mulai tidak akrab dengan sosok ayahnya sendiri.
Belum lagi harus diinterupsi oleh telepon-telepon dari rekan bisnisnya.
Hanan jadi menangkap kesan kalau lelaki itu terpaksa membawanya jalan-jalan karena takut di damprat Nyai atau Bu Saroh. Hanan menghela nafas berat. Ingin sekali rasanya menangis. Sebab rasanya sangat sesak di dalam sini.
Bagaima tidak? Orang yang disodorkan padanya jelas-jelas sama sekali tidak berminat. Payahnya dia sendiri tidak bisa mundur, meskipun dia merasa harga dirinya sekarang sudah rontok. Image nya mungkin sudah ganti jadi perempuan hopeless yang mengejar-ngejar lelaki karena takut tak laku.
"Gitu?" samar-samar ia mendengar suara Hanif. Dia ngomong sendiri atau apa. Seraya mengunyah nasi plus lauk ikan tongkol bumbu pedas. Gadis berpipi gembul itu lantas meletakkan ponselnya.
Dan meskipun gaji guru TK itu tidak seberapa, tapi ajaibnya Hanif punya ponsel yang lumayan canggih. Dari mana lagi kalau bukan sokongan dari BOD alias Bank Of Daddy?
Sekarang sahabatnya itu menatap lekat-lekat ke mata Hanan. "Apa?" tanya Hanan.
"Anakmu nyariin, tuh. Nangis di kelas. Bu Heni bingung. "
"Ya udah, aku duluan kalau gitu. "
"Lho, ndak makan?"
"Ndak. Ini kan Senin. "
"Apa hubungannya?"
Hanan melirik arlojinya. Lalu tersenyum pada sahabatnya. Sebuah senyum misterius. "Kamu masih punya waktu dua jam buat mikir," Hanan bangkit dari bangku kayunya. Sementara Hanif misuh-misuh lantaran dia tidak sengaja mengunyah cabe rawit utuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Yang Menunggu
RomanceTsurayya Hanania Asyra, seorang gadis 23 tahun yang berprofesi sebagai guru TK. Yang lincah dan ceria, lalu tiba-tiba harus menerima dijodohkan dengan lelaki berusia 34 tahun. Di sisi lain, ada remaja 18 tahun yang mengejar-ngejarnya. Ke manakah cin...