Sembilan:

722 63 4
                                    

"Bu Hanan ada yang cari di depan gerbang," beritahu Bu Feni. Perempuan yang sebaya Hanan itu tersenyum, lalu melangkah ke mejanya yang penuh dengan tumpukan buku mewarnai. Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh. Saatnya istirahat.

Hanif sudah kabur duluan dengan Bu Nisa. Katanya kepingin makan bakso. Jadi begitu kelas bubar, dia langsung sprint ke ruang guru, ambil dompet dan kabur dengan Bu Nisa-- guru TK A.

Hanan bingung. Siapa gerangan yang mencarinya hingga ke sekolah tempatnya mengajar? Masakan Hafiz? Tapi mana mungkin? Dia lupa bertanya pada Bu Feni, apakah yang mencarinya seorang lelaki ataukah perempuan?

Hanan menyimpan pertanyaan itu dalam hati, lalu memilih segera keluar dari ruang guru saja. Melihat siapa yang repot-repot mencarinya hingga ke sekolah. Karena selama ini belum ada yang senekat itu.

"Hanan!"

Rupanya Mbak Maisha. Pacar Mas Wafiq. Wajah cantik nan mungil itu teramat pucat ketika Hanan menghampirinya ke luar pagar TK yang dicat warna-warni cerah ceria, kontras dengan wajah pucat Maisha. Hanan kaget dengan kedatangan sang calon kakak ipar. "Kenapa, Mbak? Ada sesuatu? Mas Wafiq kenapa?" cerocos Hanan. Dia khawatir kedatangan perempuan itu adalah untuk membawa berita buruk tentang kakaknya, atau keluarga Mbak Maisha sendiri. Hanan segera menggandeng perempuan itu ke bangku cor di area taman bermain. Namun baru saja menghempaskan bokong, ponsel di saku gamis biru mudanya bergetar. Gadis itu tersenyum sungkan pada Mbak Maisha.

"Bu Han, Zahra nangis," suara Bu Heni tampak bingung. Panik. Belum lagi sepertinya di ruang bermain lagi kacau. Terkadang Hanan malah khawatir, tingkah  ajaib para anak-anak itu bisa  bikin Bu Heni yang hamil besar, mendadak kontraksi lalu melahirkan di tengah-tengah ruang bermain, atau di kelas.

"Saya masih ada tamu, Bu. Tolong bilangi Zahra."

"Aduh Bu, anaknya tambah misek- misek!"

"Aduh pripun nggih, Bu?"

"Gimana kalau Bu Hanan yang ngomong ke Zahra saja,"

"Boleh,"

"Halo, ini Bu Hanan, Zahra. Jangan nangis, ya. Zahra main dulu sama Bu Heni. Bu Nan lagi ada tamu. Nanti habis ini Bu Nan temani Zahra main. Zahra anak pintar, kan?"

Hening. Tapi Hanan lumayan yakin, anak itu pasti mengangguk. Kemudian terdengar suara Bu Heni lagi. "Anaknya sudah ngangguk, Bu. Silakan urusannya diselesaikan dulu. Maaf lho, saya ngganggu."

"Ndak apa- apa, Bu. Saya titip Zahra sebentar. Terimakasih."

Hanan menyimpan ponsel ke dalam saku gamis nya, begitu telepon terputus. Lalu kembali memfokuskan perhatiannya pada Maisha yang kini menaikkan sebelah alisnya. "Anaknya calon suami kamu?"

Hanan mengangguk. "Jadi ada apa, Mbak?"

"Aku..." Maisha terbata. Raut wajahnya lagi- lagi tampak muram. Membuat Hanan penasaran sekaligus was-was . Tebakannya, ini masih berhubungan dengan Mas Wafiq,kakak Hanan.

"Wafiq minta..." Maisha menggelengkan kepalanya. Lalu menunduk. "Katanya...dia...belum sanggup buat nikahin aku, Nan. Jadi dia minta..." perempuan itu menarik nafas dalam-dalam untuk kemudian menghembuskannya dengan nelangsa. "Jadi dia minta aku buat mengkaji ulang hubungan kami." Maisha kelihatan mau menangis. Gadis cantik berkulit putih yang dulunya adalah teman sekelas Mas Wafiq itu, kini tampak memerah mukanya. Ia mendongakkan kepalanya untuk menghalau air mata yang berlomba-lomba ingin menuruni pipinya yang halus mulus itu.

"Terus Mbak sendiri gimana?"

"Kenapa semua orang harus nanya pertanyaan kayak gitu? Tadi Lyra, temanku juga tanya hal yang sama!" suara Maisha berubah ketus. Agaknya dia frustrasi karena tidak menemukan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah percintaannya. "Aku nggak masalah, Han. Nggak kenapa-kenapa kalau Wafiq masih jadi guru honorer sekarang. Toh, aku juga kerja," katanya. Lalu mengambil jeda sesaat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Yang MenungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang