Dua:

358 61 2
                                    

"Habis ini dandan ya, Nok. Nanti mau ada tamu," kata Ibu.

Hanan baru saja membantu Ibunya di dapur. Memang agak mencurigakan. Sudah sesore ini tapi Ibunya malah  repot-repot membikin jajanan. Sebagian malah pesan dari Bude Rani. Padahal sore- sore begini biasanya kegiatan Bu Mardiah adalah duduk- duduk di teras belakang rumah mengobrol dengan Bapak.

Hanan menyangka akan ada tamu yang  bertandang ke rumah. Mungkin salah satu besan orangtuanya,  karena orangtua Mbak Irva istri dari mas Wisnu cukup sering mampir kalau sedang ada di Demak. Atau saudara jauh Ibunya yang sebagian besar berasal dari Jekulo- Kudus.

"Tamu siapa, Bu? Bulik Marliyah, ya?" tanya Hanan masih mengumbar senyumnya. Tanda tanya itu semakin besar, saat terdengar suara motor milik Mas Wisnu. Disusul dengan bunyi sepatu berdecit. Sepatu yang biasa dipakai Ridwan, keponakan Hanan yang baru berusia dua tahun. "Ateeee!" suara Mbak Irva. Istri Mas Wisnu.

"Eh, ada si gantengnya Tante Nan!" wajah Hanan yang tadinya curiga, mendadak berubah sumringah, karena didatangi mahluk favoritnya. Ridwan adalah batita berkulit putih dan berpipi montok dan masih hobi ngoceh nggak jelas.

Napasnya masih bau susu. Kulitnya bau bedak bayi dan minyak telon , Hanan merasa sangat gemas pada bocah 2,5 tahun itu.

Hanan berjongkok, menyambut tubuh montok itu, merengkuhnya ke dalam pelukan. Mbak Irva berdiri di belakang Ridwan. Dengan selendang dan tas besar berisi keperluan anaknya.

Hanan mengangkat bocah gembrot itu dalam gendongannya, lantas mendekatkannya ke Ibunya yang sedang menata roll cake di piring lebar. Ibu Hanan menghisap pipi gembil berbau bedak bayi. "Ih, wangi banget cucu mbah ini?!" Ridwan menggeliat- geliat dalam gendongan tantenya.

"Bulik Rani nggak ke  sini, Buk?"

"Ke sini tadi. Pasti lagi mandiin Fiqih tadi. Kan Ami lagi di sini. " jawab Ibunya. "Ayo, duduk dulu. Pasti kamu capek pulang kerja langsung bablas ke sini!"

Mbak Irva tersenyum. Istri Mas Wisnu itu bekerja di Bank milik negara. Orangnya mungil dan lincah dan menyenangkan. Berbeda dengan istri mas Wildan yang pendiam dan berwibawa. "Lho lha Wisnu mana, Ir?"

"Di depan , Buk. Tadi ketemu Pak Yasin. "

"Oh, kalau sudah ngomongin burung sama sawah ya gitu. Namanya laki. Nan, Nok. Panggil Bapakmu di halaman belakang, tadi orangnya lagi nimpal kotoran sapi barangkali. Lha wong nyuruh Wafiq Ndak tandang-tandang. Bocah jaman sak iki lek dikongkon mesti semoyo terus, ki!?" ( anak zaman sekarang kalau disuruh pasti nunda- nunda terus nih).  Ibu mendumal, seraya mengusap-usap tangannya ke celemek kotak-kotak yang sedang dipakainya.

Hanan menggendong Ridwan ke belakang. Bagian halaman yang dijadikan kebun oleh kedua orangtuanya. Ibunya menanam kemangi, bayam, kacang panjang, cabe, pepaya, pisang, terong, kangkung. Pokoknya asal butuh sayur tinggal petik di belakang rumah. Kalau harga cabai atau tearing sedang melambung tinggi, Ibu tak bakal ambil pusing.

Bapak juga memelihara ayam kampung. Ada lebih dari enam puluh ekor yang bertelur hampir setiap hari. Ridwan suka sekali bila digorengkan telur ayam kampung yang gurih itu. Selain itu, Bapak juga memelihara sapi dua ekor.

"Eh, itu Mbah Kakung, "

"Lho, lho, lho! Siapa ini yang datang? Wah cah bagus!" Bapak berderap mendekati cucunya. Mengulurkan kedua tangannya. Bermaksud menggendong sang cucu. Tapi Ridwan malah melengos. Rupanya dia ogah digendong sama Mbahnya yang menguarkan bau penguk karena habis berurusan dengan sapi dan kotorannya.

"Lho, kok nggak mau sama Mbah?"

"Mbah belum mandi,"  suara Hanan menirukan suara Ridwan yang kecil dan cadel. Ridwan sendiri selalu memalingkan wajahnya, ketika bibir si Mbahnya mendekati pipi balita itu. "Lho, kok gitu cah bagus!"

Cinta Yang MenungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang