Anna membuka matanya. Seingatnya semalam ia tertidur di meja makan. Tapi begitu ia membuka mata, ia sudah berada di kamar dengan Jimin di sampingnya. Anna menoleh, menatap Jimin yang masih tertidur di sampingnya. Seperti biasa, masih lengkap dengan kemejanya. Anna menghela nafas, kemudian beranjak berdiri.
Anna keluar dari kamarnya, berjalan ke dapur yang menjadi satu dengan ruang makan. Ia melihat kedua piring yang harusnya diisi dengan makanan kesukaan Jimin yang ia buat tadi malam. Keduanya kosong, hanya bersisa beberapa butir nasi disana.
Jimin menghabiskan semuanya.
Anna kembali mengehela nafas. Ia mengambil piringnya, kemudian membersihkannya.
"Anna..."
Suara Jimin terdengar. Anna diam, mencuci piring bekas semalam tanpa menggubris Jimin. Ia masih terus mencuci piring tanpa memperdulikan Jimin yang melangkah mendekat.
"Sayang, maaf."
Anna masih diam saat tangan Jimin melingkar di perutnya, memeluk dari belakang. Ia menyelesaikan mencuci piring terakhir. Anna menyentuh lengan Jimin, berniat melepaskan tangan Jimin yang memeluknya. Namun Jimin menahannya, Anna lantas diam.
"Kalau tidak ada yang ingin kau jelaskan, lepaskan aku." Ujar Anna akhirnya.
"Tunggu. Kita mengobrol di ruang tengah saja." Ujar Jimin. Anna melepas tangan Jimin, lalu bergerak menjauh. Anna duduk di sofa, di susul dengan Jimin di sampingnya. Jimin menatap Anna dengan berbagai perasaan yang campur aduk. Anna diam, memainkan jari-jarinya. Sekalipun Anna tidak melihat Jimin sama sekali.
"Sekretarisku, namanya Jihyo." Jimin membuka suara, mengawali pembicaraan. Ia harus meluruskan hal ini. Sayup ia mendengar ponselnya berdering di kamar, Jimin menatap jarum jam dinding yang menunjukkan pukul 9, waktunya untuk berangkat kerja.
"Tadi malam, ia menemuiku di ruangan. Berbicara mengenai penggelapan dana karyawanku." "Lalu, aku memutuskan untuk mengadakan rapat internal. Rapatnya baru selesai dini hari tadi."
Saat Jimin akan membuka mulut lagi, Anna buru-buru menyela, "Aku sudah dengar kata itu sebanyak 3 kali dan bukan itu yang aku ingin dengar."
"Tunggu. Iya aku akan jelaskan, jangan menyelaku." "Tatap aku, Anna." Ucap Jimin sembari menyentuh tangan Anna. Anna melepaskan tangan Jimin perlahan. Jimin menghela nafas, dadanya terasa berat saat Anna melepaskan genggaman tangannya saat mereka bertengkar. Jimin lambat menyadari, ia memang melakukan kesalahan fatal.
Jimin mendekat, menangkup kedua pipi Anna dan mengarahkannya untuk menatap wajah Jimin. Mata Anna sudah berkaca-kaca saat menatap Jimin. Jimin memejamkan matanya sebentar kemudian menatap Anna lagi. Saat Anna menangis, hatinya juga sakit. Ia tidak suka saat wanitanya menangis, terlebih karena kesalahannya.
"Yang kau dengar memang benar. Jihyo tiba-tiba menciumku dan aku sempat membalas. Maafkan aku."
"Cukup." Air mata Anna benar-benar jatuh saat Jimin berkata demikian. Anna menepis tangan Jimin, kemudian berdiri. Jimin ikut berdiri, menahan tangan Anna. Berulang kali Anna menepis tangan Jimin tapi Jimin juga berulang kali meraih Anna. Di akhir usahanya, Jimin menarik bahu Anna. Memeluknya, meski Anna terus meminta untuk lepas.
Anna diam, tersedu dalam dekapan Jimin. Anna tidak menemukan aroma feminim itu lagi di kemejanya. Jimin memeluknya erat, mengusap punggung Anna.
"Maafkan aku." "Sungguh, Jihyo dulu yang memulai, mencurinya."
"Tapi kau menikmatinya? Kau membalasnya." Ujar Anna sembari terisak, intonasinya naik. Jimin memejamkan matanya, ia memang sempat terhanyut. Jihyo memanggilnya, menekan tombol memanggil pada kontak Anna kemudian mencium Jimin.
"Maafkan aku."
Jimin melepaskan pelukannya. Anna mengangkat tangannya, berniat menampar Jimin. Jimin sudah memejamkan matanya, siap menerima tamparan, hukumannya. Tapi Anna menurunkan tangannya kemudian memukul dada Jimin. Jimin membuka matanya, menatap Anna yang terus memukul pelan dadanya.
"Aku salah, maafkan aku." "Aku membayangkan dirimu sebelumnya. Maka dari itu aku sempat lupa kalau itu Jihyo. Tapi begitu ingat dan membuka mata, aku melihat itu bukan kau. Aku melepaskannya."
Selama Anna menolak sentuhan Jimin karena trauma yang ia miliki, ia tidak pernah sekalipun menyentuh lelaki lain. Tapi wanita tidak tahu diri itu menyentuh suaminya. Anna jengkel dengan sekretaris barunya, begitupula dengan Jimin yang kelewat bodoh.
Ingin memaki, memotong dan mencincang Jimin rasanya. Jimin memeluk Anna yang kini diam dengan tersedu-sedu. Ia mengusap puncak kepala Anna, menenangkan istrinya.
Anna ingat masa saat Jimin melamarnya sampai menggandengnya penuh cinta di altar. Menyakitkan saat berada dalam perpecahan seperti ini dan ia masih mengingat semua memori dengan jelas. Anna meremas kemeja Jimin. Ia mencium aroma parfum feminim itu lagi.
Jimin menghela nafas, mengeratkan pelukannya. "Apa aku masih bisa mempercayaimu?" Ujar Anna pelan.
Jimin berdehem. Anna melingkarkan tangannya. Memeluk Jimin erat seolah enggan kehilangannya. Jimin, adalah segalanya bagi Anna.
-
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku akan mengambil jatah cuti, seminggu mulai lusa."
Jihyo terdiam menatap Jimin yang kini tengah membereskan meja kerjanya. Telepon pada meja kerjanya berdering. Jimin lantas mengangkat ganggang teleponnya kemudian menempelkan pada telinga. Ia duduk di kursinya.
"Ah, ya. Jadwalkan pertemuan dengan investor pekan depan." Ucap Jimin yang beberapa detik kemudian meletakkan ganggang teleponnya.
"Aku percayakan berkas perusahaan padamu ya, Jihyo." Ucap Jimin sembari mengetikkan sesuatu pada laptopnya kemudian membenarkan posisi kacamata yang sedikit tidak nyaman.
"Tetap lapor padaku setiap berkas yang keluar dan masuk. Ah, dan juga laporan mengenai kinerja pegawai termasuk manajer utama dan jabatan di bawah itu." Jimin memandang Jihyo yang berdiri di depan meja kerjanya sekilas kemudian kembali memilah berkas di laptopnya. Jimin mengusap dahinya, terlalu banyak hal yang harus ia kerahkan pada pegawainya sebelum cuti.
"Baik, sajangnim."
Jika saja Namjoon, sekretaris pribadinya saat itu tidak pindah ke luar negeri, pastinya ia tidak pusing dengan segala macam tetek-bengek perusahaan. Jimin menghela nafas.
"Lalu... Soal semalam."
Jimin membuka kacamatanya, meletakkannya di meja kerja dan menatap wajah sekretarisnya. "Aku minta maaf. Aku akan menganggap tidak ada yang terjadi diantara kita."
"Apa? Maaf. Maksud saya, anda akan melupakannya begitu saja setelah menyentuh saya sampai sejauh itu?"
Jimin menegakkan badannya, sedikit terkejut dengan penuturan Jihyo. Ia menyangga sikunya pada meja, memandang kedua manik mata Jihyo.
"Selamat berlibur bersama istri yang telah anda khianati, sajangnim."
Jihyo terlihat tengah menghela nafas, "Saya permisi dulu, akan saya lakukan semua perintah sajangnim dan tugas saya dengan baik." Jihyo membungkuk, kemudian membalikkan badannya dan berjalan menjauh. Jimin sedikit berdiri , hendak mengejar Jihyo namun ia kembali duduk di kursinya.