6-; Santorini

740 137 23
                                        

Oia of Santorini, Yunani.

Anna menghirup udara pagi segar desa Oia yang bertempat di pulau Santorini, Yunani. Rambutnya tersapu angin, matanya menelisik pemandangan dari salah satu hotel di desa yang sungguh memanjakan mata Anna setelah stress karena perdebatannya dengan Jimin tempo hari.

Hari ini adalah hari ke dua Jimin dan dirinya cuti serta hari pertama ia menginjakkan kaki di pulau Santorini, pulau penuh kejadian pilu dan kelam.

"Di sini terkenal dengan kota gunung berapi." ucap Jimin yang tiba-tiba berdiri di samping Anna. Menatap indahnya laut biru dari pintu kamar hotel Oia Santorini Luxury Suite yang mereka tempati.

Anna masih terdiam memandang langit biru terang beserta laut biru yang menenangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anna masih terdiam memandang langit biru terang beserta laut biru yang menenangkan. Jimin menoleh, menatap Anna yang menghela nafas dan tersenyum. "Kota ini, mencerminkan dirimu."

Anna lantas menoleh menatap Jimin. Ia yang sama sekali tidak tahu menahu tentang sejarah kota ini lantas mengernyit. Yang ia tahu, Yunani memang memiliki banyak legenda.

"Nanti saat matahari terbenam, akan kujelaskan."

Anna mengangkat sebelah alisnya, Jimin selalu penuh dengan teka-teki. Jimin tersenyum, sampai menyipit matanya. Setelah pedebatan menyakitkan, keduanya kembali saling tersenyum dan menerima masing-masing kesalahan.

-

"Iya. Ada apa, Jihyo?"

Jimin berdiri di samping kolam renang dengan ponsel yang di tempelkan di telinganya. Anna sedang mandi di dalam kamar hotel.

"Hal penting? Apa?"

Anna keluar dari kamar mandi, dengan rambut basah dan handuk yang tersampir di bahunya lengkap dengan tubuhnya yang memakai bathrobe. Anna mengambil dompet Jimin yang tergeletak di meja, mengamatinya.

Di dalam dompet itu terdapat foto Jimin dan dirinya. Hanya ada beberapa uang cash dan sisanya kartu kredit serta debet yang tidak memiliki limit. Lalu ada beberapa foto hasil jepretan kamera polaroid. Foto-foto itu merupakan foto penting menurut Anna. Mulai dari foto saat pertama keduanya kencan, tunangan, melamar, hingga pesta pernikahan. Ada juga foto saat Jimin pertama kali berdiri di depan press conference media memperkenalkan dirinya setelah pelantikan jabatan. Satu foto pesta perayaan perusahaan dimana Jimin tertawa lebar merangkul semua karyawannya. Anna tersenyum, sejujurnya ia bangga dengan Jimin yang bisa sampai sesukses ini.

Lalu ia meraih sebuah foto polaroid yang diambil secara candid. Ada beberapa karyawan lainnya juga disana, masing-masing menggenggam gelas berisikan alkohol termasuk Jimin dan seorang gadis di sampingnya. Jantung Anna berdetak kencang, apa saja yang di lakukan Jimin selama pesta perayaan kesuksesan perusahaan?

Jimin merangkul gadis itu, yang wajahnya tertutupi oleh gelas penuh alkohol yang Jimin pegang. Wajahnya berseri, tersenyum lebar.

"Anna? Sudah selesai?"

Anna mengambil foto terakhir yang ia lihat, kemudian mengembalikan sisanya ke tempat semula. "Ah, iya. Baru saja."

Jimin masuk ke dalam kamar kemudian ia membuka bajunya. "Setelah aku mandi, kita akan scuba diving, ya." ujar Jimin sembari melewati Anna begitu saja. Anna berdehem, kemudian bernafas lega usai Jimin menutup pintu kamar mandi.

"Sebanyak apa yang kau sembunyikan sebenarnya, Jimin?"

-

"Hei. Ada apa? Kenapa muram?" Jimin menggenggam tangan Anna, menatap manik mata istrinya yang menatap pemandangan kota dari jendela mobil. Ia dan Jimin menyewa sebuah mobil beserta supirnya.

Bukankah lebih baik jika aku tidak mengetahui semuanya?

Dada Anna berdenyut nyeri, setelah perdebatan panjang dan menyakitkan. Ia masih saja terus dibuat penasaran akan apa yang telah Jimin perbuat.

"Anna. Tatap aku." Jimin menyentuh kedua pipi Anna dengan tangannya, menolehkan kepala Anna agar gadis itu menatapnya. Anna sempat menahan nafas, memaki dirinya sendiri karena tidak bisa menyembunyikan raut wajah gelisahnya dari Jimin.

"Ada apa?" tanya Jimin lembut. Anna tersenyum lalu menggeleng.

-

"Lihat matahari terbenamnya."

Jimin menyesap wine yang ia pesan. Kacamata hitamnya menutupi mata Jimin. Jimin bersandar pada punggung kursi. Memandang matahari terbenam dari atas caffe and bar tempat keduanya singgah. Anna menoleh, memakai kacamata hitamnya agar bisa melihat matahari terbenam tanpa menusuk mata.

"Lalu buka kacamatamu, jangan memandang mataharinya. Lihat langitnya."

Anna menurut saja, mengikuti apa yang di katakan Jimin. Anna membuka kacamatanya, memandang langit oranye pulau ini.

"Dulu, tempat ini pernah mengalami letusan gunung berapi paling hebat di dunia, tsunami yang mencapai sembilan meter tingginya. Lihatlah, warna matahari terbenamnya." Ucap Jimin sembari menyesap kembali wine-nya.

"Merah tua, merah muda, oranye, dan ungu. Tidak ada yang bisa mendefinisikan keindahan matahari terbenam disini. Santorini, bukan untuk orang pengecut. Kota di pulau ini memiliki banyak keberanian untuk menunjukkan keindahannya di balik sekian banyak rahasia kelam." Jimin menjeda sejenak kalimatnya, ia menatap Anna dengan senyum tipis di bibirnya.

"Itu dirimu, Anna. Perempuan paling kuat, paling berani dan paling tangguh dalam hidupku. Menunjukkan keindahan di balik rahasia kelam." Ucapan Jimin membuat Anna lantas menoleh dan menatap Jimin penuh makna.

"Saat kau menghadapi gadis-gadis yang mengerjarku, bahkan yang hampir saja di jodohkan denganku setelah kita bertunangan. Menemaniku yang jungkir balik untuk mendapatkan jabatan ini. Merah untuk pemberani, merah muda untuk kelembutan, oranye untuk kehangatan, dan ungu untuk kebijaksanaan. Semua itu ada pada dirimu."

"Sejauh apapun aku berlari, aku tidak akan bisa meninggalkan matahariku, tidak bisa membiarkannya tenggelam lalu berganti dengan kegelapan. Sebesar itu, rasa sayangku padamu."

Air mata Anna meluruh, ia menutup matanya. Jimin membuka kacamatanya, kemudian menarik Anna kedalam pelukannya. Anna terisak haru, Jimin selalu manis. Anna memutuskan untuk diam atas segala kegelisahannya, dan memilih untuk menghabiskan waktu di santorini dengan banyak senyuman. Bukan dengan air mata dan hati yang sakit. Biar Anna menyimpannya rapat.

Jimin memejamkan matanya. Masih terbayang akan masalah yang tempo hari mereka debatkan. Serta sebuah masalah baru yang ia dengar dari Jihyo tadi pagi.

"Kau brengsek. Kau menghancurkanku." ucap Jihyo saat di telepon.

Jimin teramat mencintai Anna, begitupun Anna. Hingga titik bahwa keduanya benar-benar naif.

Bagi Jimin, Anna adalah mataharinya. Bagi Anna pun sebaliknya, Jimin adalah mataharinya. Seperti kata pepatah, Anna mencintai Jimin seperti Icarus mencintai matahari, semakin dalam semakin sakit.

Icarus terbang, menantang matahari. Meski tahu bahwa sayapnya akan terbakar, Icarus tetap terbang menuju mataharinya.

Begitupula dengan Anna dan Jimin. Meski akhirnya setelah terbang terlalu tinggi dan menantang matahari, Icarus jatuh dan mati tenggelam di laut Aegea, Yunani.

TBC

Tenang. Setelah memaki-maki Jimin, harap tarik nafas... Hembuskan... Wkwk

Limitless ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang